JAKARTA (voa-islam.com) - Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) menyampaikan pernyataan dukungan terhadap sikap MUI Pusat terkait putusan MK tentang hak perdata anak di luar pernikahan.
“Dengan memperhatikan perkembangan kehidupan beragama di Indonesia, dan dakwah Islam khususnya, Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) terus memantau secara ilmiah dan syar’iyah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Hak Perdata Anak di Luar Perkawinan berikut kontroversi dan perdebatan publik di seputarnya,” dalam siaran persnya yang diterima redaksi voa-islam.com, Rabu (21/3/2012).
MIUMI memandang bahwa putusan MK tersebut telah menimbulkan kegelisahan dan kebingungan bahkan keguncangan di kalangan umat Islam.
“Setidaknya, putusan tersebut telah menimbulkan kegelisahan, kebingungan, dan bahkan keguncangan di kalangan umat Islam. Tidak Cuma itu, dikuatirkan putusan tersebut bakal mengubah tatanan kehidupan umat Islam. Apalagi jika ada pihak-pihak tertentu yang ingin membonceng isu tersebut, misalnya dengan mengusulkan revisi Undang-Undang (UU) Perkawinan No.1 tahun 1974 yang disinyalir membawa misi pengarusutamaan gender dan liberalisasi yang akan merusak tatanan hukum Islam.”
Sebelumnya, MUI telah merespon putusan MK dalam jumpa pers di kantor MUI Pusat, Jl. Proklamasi No. 51, Jakarta Pusat. Beberapa point di antara sikap MUI tersebut adalah:
- MUI menilai putusan tersebut sangat berlebihan, melampaui batas, dan bersifat overdosis, serta bertentangan dengan ajaran Islam dan pasal 29 UUD 1945. Karena telah melampaui permohonan yang sekedar menghendaki hubungan keperdataan atas anak dengan bapak hasil perkawinan (sah) yang tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama.
- MUI menilai akibat nyata putusan MK itu, kini kedudukan anak hasil zina sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah. Putusan MK itu dianggap melegalkan hubungan di luar nikah tanpa mengkhawatirkan masa depan anak. Persepsi tersebut terbentuk karena walau tidak terikat perkawinan, anak hasil hubungan zina tetap memiliki hak nafkah, nasab, perwalian nikah, dan waris.
Berkenaan dengan hal tersebut, MIUMI yang bertujuan membangun dan memperkuat otoritas fatwa ulama dan lembaga keulamaan di tanah air, maka MIUMI menyatakan hal-hal di antaranya:
Pertama, Mendukung Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya, yang menyatakan bahwa: “Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.”
Kedua, Menghimbau kepada Pemerintah dan masyarakat luas untuk mematuhi fatwa tersebut dalam upaya memperbaiki tatanan kehidupan umat Islam terutama di bidang moral dan sosial.
Ketiga, Meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) RI untuk menganulir putusan No. 46/PUU-VIII/2010 demi menghindari mafsadat (kerusakan) yang luar biasa dalam tatanan hukum agama dan sosial akibat dikeluarkannya putusan itu, karena jelas-jelas bertentangan dengan Syariat Islam dan berpotensi memicu perzinahan yang lebih meluas.
Demikian pernyataan MIUMI yang ditetapkan di Jakarta, Senin (19/3/2012) dan ditanda tangani Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi sebagai ketua dan Bachtiar Nasir, Lc. MM, sebagai Sekjen. [Ahmed Widad]