JAKARTA (VoA-Islam) - Pada pertemuan-pertemuan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (MGMP PAI) untuk SMK yang diselenggarakan Ketua MGMP PAI Jakarta tahun 2007 di Pondok Gede, Jakarta Timur, tokoh masyarakat Jagakarsa Ace Suhaeri yang juga seorang guru, mengadukan temuannya itu, termasuk kepada Kepala Kantor Wilayah KUA DKI Jakarta.
Kakanwil KUA DKI Jakarta pun hanya sekadar mencatat pengaduan tersebut. Setelah ditelusuri awal Februari 2012 lalu, ternyata tidak ada perubahan aturan atau kebijakan apa pun terkait pelajaran agama untuk siswa yang beragama Islam di SMK tersebut, meskipun Kepala SMK Grafika Desa Putera Mateus Sumadiyono sempat berkelit.
“Secara jujur kami sampaikan ujian praktek di sekolah ini barangkali berbeda dengan sekolah Katolik yang lain, misalnya membaca kitab suci, kemudian menyanyi, dan sebagainya. Selama ini, prakteknya cukup membuat doa. Dan itu sesuai dengan doa agamanya masing-masing,” ujarnya ketika dikonfirmasi oleh seorang aktivis HTI Jagakarsa, di ruang tamu SMK Grafika Desa Putera.
Ucapan Sumadiyono itu menunjukkan bahwa sekolah Katolik lainnya, lebih tidak toleran terhadap siswa Muslim. Sedangkan pernyataan praktek doa sesuai dengan agamanya masing-masing, dibantah tegas oleh dua orang siswanya sendiri. Padahal keduanya merupakan siswa yang dihadirkan Sumadiyono untuk menjawab pertanyaan aktivis HTI tadi. .
“Praktik agamanya bikin cerita dari agama Katolik, kayak bikin cerita dari kitab sucinya dia, terus dipidatokan meskipun siswanya beragama Islam, ujian tertulisnya pun ya Katolik,” ujar Ade Rahmat Hidayat, siswa Kelas 12 Produksi A, yang mengaku dapat instruksi dari guru agamanya bahwa ujian praktik agama tahun 2012 pun akan menggunakan tatacara Katolik.
Hal senada juga dinyatakan oleh Puguh Ari Wahyudi, siswa Kelas 11 Produksi B. “Saya minta jam lain bagi siswa yang Islam untuk belajar lebih dalam soal agama kami, tapi tidak ada,” ungkapnya.
Padahal, seperti diungkapkan Sumadiyono, setiap tahunnya sekitar 70 persen siswa yang sekolah di SMK tersebut beragama Islam. “Setiap angkatan, sekitar 70 persen, kurang lebih seperti itu,” ujarnya. Ia pun mengungkapkan jumlah total siswanya saat ini sekitar 315 orang. Ini artinya, ada sekitar 220-an siswa Muslim yang seharusnya mendapatkan pelajaran agama Islam, tetapi malah mendapat pelajaran agama Katolik.
Ironinya, pendangkalan akidah tersebut sudah berlangsung sejak SMK Grafika Desa Putera itu didirikan pada 1970. Jadi, sudah berapa ribu anak Muslim yang terdangkalkan akidahnya?
Ironisnya lagi, orang tua siswa yang muslim tidak pernah protes, karena ketika awal masuk, orang tua sudah menandatangani perjanjian di atas materai. “Isinya bahwa menyadari lembaga kami adalah lembaga milik biarawan, maka mata pelajarannya, melalui proses pelajaran agama Katolik.” singkat Sumadiyono menceritakan isi perjanjian tersebut.
Jika begitu, Kepala Kantor Wilayah KUA DKI Jakarta, termasuk Menteri Agama Suryadarma Ali dan Mendiknas Muhammad Nuh harus menindak sekolah yang telah memurtadkan siswa muslim tersebut. Setidaknya, memberi guru agama Islam kepada siswa muslim di sekolah Katolik tersebut. Desastian