JAKARTA (voa-islam.com) – Saat pertama kali Al-Qur’an muncul, masyarakat jahiliyah banyak menantang dan menentang. Kondisi tersebut juga terjadi pada masa sekarang ini, di mana banyak yang menantang dan menentang. Mereka meragukan orisinalitas serta konsep-konsep Al-Qur’an. Tak heran terjadi benturan-benturan di sepanjang zaman.
Hal itu diungkapkan Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Fahmi Salim MA dalam acara Kajian Islam bertema “Kontroversi Studi Al-Qur’an Timur dan Barat” di Jakarta, Sabtu (31/3/2012).
“Mereka yang menantang dan menentang itu menolak diintervensi oleh Tuhan. Mereka berpikir, jika ingin maju, maka harus berkiblat ke Barat,” jelasnya di acara yang diselenggarakan oleh Majelis Dai Paguyuban Ikhlas itu. Majelis ini dipimpin oleh dai kondang Ustadz Drs H Ahmad Yani.
Narasumber lain dalam acara yang berlangsung di Gedung Ikhlas, jalan Fachrudin no 6, Tanah Abang, Jakarta Pusat itu adalah Saifuddin Zuhri (dosen Institut PTIQ Jakarta), DR Abdul Muid Nawawi dan Mulyana Lc.
Para penentang Al-Qur’an ini, lanjut Fahmi, ingin memaksa umat Islam untuk menjustifikasi isu Hak Asasi Manusia (HAM), gender, pluralisme, dan juga faham-faham humanisme. Oleh mereka, Islam ditafsirkan dari faham-faham Barat, bukan sebaliknya. Inilah yang melahirkan Islam Liberal, di mana mereka melihat Islam dari perangkat ilmu-ilmu humaniora, lebih tepatnya ilmu dari dunia Barat. “Tak heran pola pikir mereka jadi salah dan kacau,” papar penulis buku Kritik terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal itu
Saat ini, lanjut Fahmi, penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh para penantang dan penentang Al-Qur’an ini melahirkan hermeneutika, yakni membaca dan memahami kitab suci dengan cara mendudukkannya dalam ruang sejarah, bahasa, dan budaya yang terbatas. Meski dikemas sedemikian menarik seolah-olah ilmiah, hermeneutika bertentangan dengan konsep Islam karena dikembangkan oleh kaum sekular barat. “Ilmu ini dikembangkan oleh peradaban Barat sekuler dan tidak sejalan dengan konsep tafsir atau takwil dalam khazanah Islam,” tegasnya.
Fahmi mengingatkan, pangkal kesesatan orang-orang berfaham Islam Liberal adalah memandang Al-Qur’an bukan sebagai kitab suci wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah SAW. Mereka memandang Al-Qur’an sebagai sebuah teks sejarah, teks budaya dan teks bahasa. "Pandangan rusak seperti itu hanya mungkin terjadi jika kita umat Islam telah menganggap Islam itu sebagai agama budaya dan sejarah (cultural and historical religion) seperti halnya agama Kristen", tegas Fahmi Salim.
Oleh karena dianggap sebagai teks sejarah belaka, maka tak heran hukum-hukum Islam yang ada sudah dianggap tidak tepat lagi pada masa kini. Inilah yang membuat Islam didekonstruksikan oleh mereka dan banyak orang yang menjadi bimbang, dan kemudian sesat.
“Praktik hermeneutika ini tebang pilih. Mereka hanya menafsir ayat-ayat untuk pranata sosial, seperti ayat tentang jilbab, hak waris, poligami, perkawinan sejenis, perkawinan beda agama, judi, maupun minuman keras. Ini jelas terbaca, bahwa mereka punya agenda untuk mendekonstruksi hukum Islam dan ingin mengatakan, Islam jangan mengatur hidup manusia,” terang Fahmi.
Pegiat-pegiat HAM, feminisme, humanisme, dan liberal yang mendekonstruksi hukum Islam ini membuat umat Islam masa kini galau. Mereka menjadi krisis identitas. Sementara teori-teori dari hermeneutika yang dikembangkan ini dianggap masuk akal, mau tak mau umat jadi terbawa ke arah kesesatan.
“Padahal setiap yang dibawa oleh peradaban Barat harus diseleksi, difilter, apakah konsep sosial di Barat sesuai dengan masyarakat Islam. Yang terjadi justru sebaliknya orang Islam malah menyeleksi sesuai dengan standar Barat. Kalau sesuai, dipakai. Jadi Islam dijalankan dengan sesuai keinginan manusia”.
Padahal umat Islam mengenal otoritas. Allah adalah otoritas kita. Jika kita menentang otoritas, itu sama saja kita menentang Allah. Otoritas Allah diturunkan pada Rasulullah. Lewat Rasulullah, ilmu Allah diturunkan pada manusia. Intinya, ketika kita bicara agama, maka kita berbicara otoritas. Berbeda sekali dengan Barat yang menentang otoritas. [taz/miumi]