Jakarta (Voa-Islam) – Rancangan Undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) mulai dibahas secara terbuka di DPR. Sebagai muslim, haruskah kita menerima atau menolak RUU KKG tersebut?
Ketika bicara dalam Tabligh Akbar Menolak RUU Gender Liberal di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, Ahad (8/4), Wakil Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr. Adian Husaini menegaskan, jika menelaah Draf RUU KKG, maka sepatutnya umat Islam MENOLAK draf RUU ini. Sebab, secara mendasar, konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep dasar ajaran Islam. Ada sejumlah alasan yang mengharuskan kita – sebagai Muslim dan bangsa Indonesia – menolak RUU KKG ini.
Kata Adian, ada tiga alasan kenapa umat Islam harus menolak RUU KKG tersebut. Pertama, definisi “gender” dalam RUU ini sangat bertentangan dengan konsep Islam tentang peran dan kedudukan perempuan dalam Islam. Kedua, RUU Gender ini sangat western-oriented. Ketiga, RUU KKG ini sangat sekuler.
Dalam draf RUU KKG (Pasal 1 ayat 1), pengertian gender didefinisikan sebagai berikut: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi social budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”
Menurut Adian, definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran dan tanggungjawab perempuan dan laki-laki, baik dalam keluarga (ruang domestic) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya.
Jadi, tanggungjawab laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah keluarga adalah berdasarkan wahyu (al-Qur’an dan Sunnah Rasul). Sepanjang sejarah Islam, di belahan dunia mana saja, tanggungjawab laki-laki sebagai kepala keluarga merupakan perkara yang lazim dalam agama Islam. Mengingat, yang menjadi wali dan saksi dalam pernikahan adalah laki-laki dan bukan perempuan. Ini juga sudah mahfum.
“Karena berdasarkan pada wahyu, maka konsep Islam tentang pembagian peran laki-laki dan perempuan itu bersifat abadi, lintas zaman dan lintas budaya. Karena itu merombak konsep baku yang berasal dari wahyu (Allah Swt) ini sangat riskan. Jika menolak wahyu, maka sama saja dengan keangkuhan dan pembangkangan kepada Allah Swt. Sehingga merasa diri berhak menyaingi Tuhan dalam pembuatan hukum. (QS at-Taubah:31),” jelas Adian.
Dengan demikian, cara pandang yang meletakkan pembagian peran laki-laki dan perempuan (gender) sebagai budaya ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Syariat Nabi Muhammad Saw adalah universal dan final.
“Zina haram sampai kiamat. Khamr haram di manapun dan kapan pun. Begitu juga dengan babi, dimana sana dan kapan saja. Begitu pun suap yang haram hukumnya. Konsep syariat seperti ini bersifat lintas zaman dan lintas budaya.
Lebih lanjut Adian mengatakan, Syariat Islam jelas bukan konsep budaya Arab. Saat ini Nabi Muhammad Saw memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya, maka perintah Nabi itu berlaku universal, jadi bukan hanya untuk perempuan Arab pada abad ke-7 saja. Umat Islam sepanjang zaman menerima konsep batas aurat yang universal, bukan tergantung budaya. Karena sifatnya yang universal, maka konsep syariat Isam untuk perempuan pun bersifat universal.
“Memang, tak dapat dipungkiri, dalam aplikasinya, ada unsur-unsur budaya yang masuk, seperti yang kita saksikan dalam berbagai upacara perkawinan di berbagai daerah di Indonesia,” ujar Adian. (Desastian)