JAKARTA (VoA-Islam) – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukham) Amir Syamsudin dalam Media Gathering di Four Season Hotel, Jakarta, Rabu (2/5) kemarin menyambut baik UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin. Namun ia berharap, UU sebaik apapun tanpa pelaksanaan akan sia-sia belaka.
Menurut Menteri, Bantuan Hukum bagi rakyat miskin sangat urgen dan dibutuhkan. Untuk mendapat akses keadilan, bukanlah monopoli orang berduit saja, dimana mereka bisa menyewa pengacara dengan biaya mahal. Sebelum menjadi Menteri, Amir Syamsudin mengaku beberapa kali membantu rakyat miskin dalam menyelesaikan permasalahan hukum, seperti pembelaannya terhadap satpam Pasar Induk Kramat Jati, terkait tuduhan melakukan kekerasan.
Begitu juga saat ia membela buruh gali bernama Sukri yang dituduh membunuh adik kandungnya sendiri. Atau pembelaannya terhadap anak tukang ojek yang disiksa hingga tewas. Diperlukan atensi atau perhatian media untuk memberitakan yang menyangkut rakyat miskin yang dizalimi. “Sangat disayangkan, atensi media terbilang menurun,” kata Menhukham.
Amir Syamsudin berharap, para pemberi bantuan hukum lebih aktif lagi. Seperti diketahui, orang kecil itu pemalu, bahkan pasrah menerima nasibnya. Persolan birokrasi hendaknya tidak menyebabkan akses mendapat keadilan menjadi terhambat. UU ini diharapkan efektif, bukan pajangan, utopis, angan-angan dan retorika semata.
Terpenting, alokasi dana APBN ini harus betul-betul dikontrol, mengingat APBN itu uang rakyat. “Jangan biarkan peluang korupsi dalam memberi bantuan hukum kepada rakyat miskin. Trust itu harus terjaga, sehingga tidak muncul tuduhan program ini tak lebih sebagai proyek saja. Diperlukan keterbukaan dan transparansi, dimana pers bisa mengontrolnya.”
Realisasi Bantuan Hukum
Nampaknya, rakyat miskin harus bersabar untuk menerima bantuan hukum secara gratis, mengingat pelaksanaan UU ini baru bisa terealisasi pada tahun 2013 nanti, sambil menunggu kucuran dana dari pemerintah berdasarkan persetujuan dari DPR. Direncanakan, anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan UU ini sekitar Rp. 50-65 Milyar.
Yang pasti, kampanye bantuan hukum gratis untuk rakyat miskin harus betul-betul tersosialisasi. Setidaknya memberi tahu, lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan mana saja yang bisa membantu. Mengingat rakyat kecil dari kalangan tidak mampu betul-betul buta dengan urusan birokrasi.
Kabarnya, kucuran dana yang akan diberikan kepada lembaga bantuan hukum yang telah diverifikasi dan terakreditasi dihitung berdasarkan per kasus. Lembaga bantuan hukum, seperti YLBHI misalnya, yang setiap tahunnya menerima pengaduan dari masyarakat sebanyak 3000 kasus.
Idealnya satu operasional satu kasus bisa menelan biaya Rp. 10 juta. Hitung saja, 3000 kasus dikalikan Rp. 10 juta. Dikarenakan dana ini dibagi secara merata ke beberapa pelosok Tanah Air, seperti tetap saja anggaran yang dikeluarkan pemerintah masih terbilang kecil untuk mengalokasi lembaga bantuan hukum yang ada untuk per kasusnya.
Yang menjadi pertanyaan, apakah pemerintah akan mengucurkan dana kepada LBH atau organisasi kemasyarakatan yang menerima kasus pidana masyarakat yang kebetulan memiliki peluang benturan terhadap kepentingan penguasa. Sebut saja Kasus Mesuji dan kasus tanah sengketa lainnya.
Semoga dana yang sudah digulirkan tidak bocor dan menguap begitu saja, dan jatuh ke tangan-tangan pihak yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Yang pasti, program ini sangat rawan korupsi dan penyelewengan. Desastian