Bogor (VoA-Islam) – Secanggih-canggih pesawat Sukhoi Superjet-100 (SSJ-100), akahirnya jatuh juga di Gunung Salak. Kendati jam terbang sang pilot terbilang tinggi, namun ia tak mampu menaklukkan alam Gunung Salak.
Pesawat ini datang ke Indonesia hanya untuk terbang uji coba atau joy flight yang kedua, setelah yang pertama suksesmelayang ke langit Jakarta. Kunjungan ke Indonesia adalah bagian dari roadshow yang digelar perusahaan Sukhoi Civil Aircraft di beberapa negara Asia Tengah dan Tenggara. Di Indonesia, PT. Trimarga Rekatama mendapat kehormatan menjadi agen yang menyelenggarakan joy flight ini.
Indonesia adalah negara keempat yang diunjungi selama safari ke enam negara Asia, sebelumnya, pesawat telah mengunjungi Myanmar, Pakistan dan Kazakhstan. Setelah Jakarta, direncanakan akan mengunjungi dua negara lain, Laos dan Vietnam.
Sukhoi yang katanya canggih itu didukung dua mesin di bawah pesawat. Snecma Moteurs dan NPO Saturn telah mendirikan perusahaan patungan, Powerjet untuk menghasilkan mesin turbofan SaM146. Setiap mesin ini mendapat nilai 62kN hingga 71kN.
Mesin juga dilengkapi dengan otoritas control digital elektronik penuh (Full Authority Digital Electronic Control atau FADEC) dari Snecma. Sistem mesin bertekanan rendah dikembangkan oleh NPO Saturn.
Kendati didukung teknologi canggih, pesawat Sukhoi Superjet 100 hilang kontak, Rabu (9/5/2012) sekitar pukul 14.50 WIB. Pesawat jenis Sukhoi 100 FN RA36801 itu lepas landas dari bandar Udara Halim Perdana Kusuma pukul 14.00 WIB. Bangkai pesawat ditemukan TIM Search and Rescue (SAR) udara dari Lanud, sekitar pukul 09.20 di pinggir tebing kawasan Gunung Salak, Cidahu, Sukabumi. Pesawat buatan Rusia itu ditemukan pada ketinggian 5.500 kaki di atas permukaan laut. Terlihat badan pesawat nampak hancur berkeping-keping.
Human Error?
Diduga, jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 akibat kesalahan manusia. Banyak keganjilan pada insiden ini.Menurut Anggota DPR, Roy Suryo, ia mempertanyakan, mengapa tanda bahaya emergency locator beacon aircraft (ELBA) atau emergency locator transmitter (ELT), yang seharusnya secara otomatis langsung berfungsi ketika ada kecelakaan, tidak bisa dimonitor di Singapura, Australian, bahkan Indonesia.
Menurut Suryo, apapun yang terjadi di atas tekanan 5G, ELBA/ELT yang dipasang di pesawat seharusnya secara otomatis menyala. “Kedua tanda bahaya yang berada di hidung dan roof rack, pesawat seharusnya terdeteksi selama 3 kali 24 jam dari Singapura, Indonesia da Australia,” ujarnya.
Pakar telematika itu juga menanyakan keganjilan turunnya pesawat hingga ketinggian 6.000 kaki. Padahal, ketinggian pegunungan itu sekitar 7.000 kaki. Dan aspek terpenting yang harus segera diinvestigasi adalah isi rekaman terakhir pilot pesawat Sukhoi tersebut. Pemandu Lalu Lintas Udara (Air Traffic Controller) Bandara Soekarno Hatta juga perlu dicek. Apakah ada sesuatu sebelum akhirnya lost contact. Desastian