JAKARTA (VoA-Islam) – Atas dasar pertimbangan keamanan, Polri punya kewenangan untuk tidak memberi rekomendasi digelarnya konser Lady Gaga di Jakarta. Jika polisi mengizinkan seluruh tontonan, maka tugas polisi tak ubahnya tukang cap saja. Juga tidak bisa dikatakan, polisi didesak dan mendapat tekanan dari kelompok tertentu. Adalah mustahil, jika polisi merasa terancam oleh ormas yang tidak menghendaki konser Lady Gaga digelar.
Seperti diketahui, polisi belum menyatakan pelarangannya atas konser Lady Gaga. Polisi barus sebatas tidak memberi rekomendasi. “Belum diberi izin, bukan berarti pelarangan. Lalu kenapa ada pemaksaan dari pihak promotor atau panitia penyelenggara agar polisi mengeluarkan izin,” tanya Mahendrata dari Tim Pengacara Muslim (TPM) menyesalkan.
Lebih lanjut TPM menilai, sosok seperti Irshad Manji dan Lady Gaga telah melanggar PNPS No. 1 tahun 1965 tentang penodaan agama. “Sosok seperti Irshad Manji, sejak awal bermasalah dengan buku-buku yang ditulisnya. Ia juga yang mensupport keberadaan Gay Muslim. Dalam websitenya, Manji yang dekat dengan Salman Rusdi -- penulis ayat-ayat Setan-- menyerang agama Islam dan Rasulullah Saw. Lebih dari itu Manji pun menggugat kesempurnaan Al-Qur’an.
Dari segi hukum, kegiatan diskusi buku di Salihara telah melanggar UU no 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyatakan pendapat. Sementara buku Irshad Manji bukanlah hasil penelitian, bukan pula hasil dokumentasi, tetapi sepenuhnya pendapat pribadi. Disamping itu, acara yang digelar Komunitas Salihara tidak ada pemberitahuan. Jika tidak ada pemberitahuan, polisi berhak untuk membubarkan. Dan pembubaran itu merupakan polisi, sehingga sah secara hukum.
Seperti diketahui, saat ini peran dan fungsionalisasi DPR dan Kepolisian dirasakan mandeg, sehingga muncul kelompok-kelompok masyarakat yang bertindak dengan caranya sendiri. Jika peran kedua institusi tersebut menjalankan fungsionalnya, sebetulnya tidak perlu ada ormas seperti FPI dan sejenisnya.
Bukan Kebebasan Ekspresi
Kelompok liberal seperti Haris Azhar dari Komnas HAM kerap mengklaim kehadiran Lady Gaga dan Irshad Manji sebagai bentuk kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat serta merupakan Hak Asasi Manusia. Ia mempertanyakan peran negara yang seharusnya melindungi setiap warganegara.
“Indonesia ini ladangnya perbedaan. Ada Ahmadiyah, aliran kepercayaan dan sebagainya, namun negara tidak hadir ketika terjadi konflik di tengah masyarakat. Terjadi pembiaran oleh polisi, seperti yang terjadi pada kasus Cikeusik beberapa waktu lalu. Selama tidak merugikan orang lain, polisi tidak serta merta membubarkan acara diskusi yang menghadirkan Irshad Manji. Secara administratif polisi boleh bertindak, tapi bukan untuk membubarkan,” kata Haris.
Menanggapi Haris Azhar, Boy Rafli menegaskan, perbedaan tajam diakui bisa menimbulkan potensi kerawanan dalam masyarakat. Sebagai penegak hukum, polisi tunduk pada aturan hukum yang berlaku. Bagaimana pun polisi harus melayani masyarakat yang majemuk. Kedua belah pihak akan didengar suaranya, kemudian polisi akan menimbang-nimbang setiap masukan dari masyarakat, untuk kemudian diambil sebuah keputusan.
“Tidak diberinya rekomendasi oleh Polda Metrojaya adalah untuk menghindari kerawanan, sekaligus pemeliharaan keamanan. Sebuah acara memang harus mendapat izin keramaian dari Mabes Polri berdasarkan rekomendasi dari Polda, Dinas Parawisata dan pemilik tempat atau lahan. Jika ada surat pemberitahuan, polisi akan melakukan pengamanan,” ungkap Boy Rafli.
Nyelenehnya lagi Ketua Banser Ansor, Nusron Wahid menilai polisi telah bertindak zalim. Polisi makan uang rakyat. Ia mempertanyakan tindakan polisi yang telah membubarkan diskusi Irshad Manji di Pasar Minggu, termasuk pihak UGM yang telah melarang Manji untuk bicara dalam acara yang serupa.
“Kenapa diskusi dilarang. Ini seperti kembali pada zaman Soeharto dulu. Jika ada buku Irshad Manji yang salah dan dianggap menyimpang, sebaiknya ikuti saja mekanisme yang ada, yakni mengajukan ke Kajagung, lalu diputuskan bahwa buku Irshad Manji dilarang,” kata Nusron yang juga politisi Golkar.
Nusron mengaku tidak sependapat dengan pemikiran Irshad Manji, dan ia juga tidak menyalahkan pendapat teman-teman FPI yang menilai buruk soal Manji maupun Lady Gaga.
Lucunya ketika ditanya anda tahu Lady Gaga? Nusron dengan polos dan terus terang, ia tidak tahu menahu soal sosok Lady Gaga sesungguhnya. Meskipun tidak tahu, ia mendukung kehadiran Lady Gaga untuk konser di Indonesia, lagi-lagi atas nama kebebasan berekspresi. Menurutnya, masyarakat Muslim tidak akan murtad, dan menjadi setan, sekalipun Lady Gaga hadir di Indonesia.
Padahal, seperti dijelaskan para pengamat music, Lady Gaga kerap mempertontonkan silmbol-silmbol Iluminati (Dajjal) bermata satu. Lady Gaga juga bukan merupakan yang pertama sebagai sosok pemuja setan. Sebelumnya ada Alice Cooper dan Black Sabbat (beraliran gotic) yang juga mempropagandakan satanic, memperagakan adagen pemenggalan kepala, dengan darah yang berceceran. Lady Gaga boleh dikatakan daur ulang dari sosok seleb terkenal seperti David Bowie, Madonna, Michel Jackson, hingga Freedy Mercury.
Diakui, Satanic dan Iluminati telah menjadi budaya pop sebagai bentuk metafora. Kehadiran Lady Gaga dipastikan akan membaptis remaja Indonesia sebagai anak-anak setan yang ia sebut sebagai little monster. Desastian