Mentawai (VoA-Islam) – Haru biru saat mendengar pesan dan permintaan dari orang-orang Mentawai dalam sebuah perpisahan di ujung dermaga: “Tolong, jangan berhenti datang ke sini, tolong ajak ustad-ustad yang lain, jangan pernah kosong ustad di tempat kami. Jika yang satu pergi, tolong ganti dengan ustad yang lain.”
Air mata pun menetes, saat saudara-saudara Muslim di Mentawai berkata, “Tolong bawa ustad-ustad yang selama ini kami bisa lihat di media-media. Tapi, maaf, kami tidak bisa memberi “sangu” jika ustad kembali. Tolong rindukan kami di dalam agenda dakwah para ustad kalian. Para ustad di Jawa itu sudah sangat banyak. Jangan lupakan dakwahi dan silaturahimi kami di sini.”
Seperti itulah yang membuat Ustadz Aldi AF Abdurrohim terharu, mendengar pesan saudara-saudara Muslimnya nun jauh di sana, di bumi Mentawai. Selama 8 hari (sejak 17-25 Mei 2012), Aldi yang datang seorang diri, dari Depok-Jawa Barat, meneguhkan tekadnya untuk berbagi tugas mendakwahi Islam hingga ke daerah Mentawai.
Mentawai adalah bagian dari Sumatera Barat yang terdiri dari 4 pulau besar, yaitu: Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Dalam perjalan dakwah ke Mentawai, Voa-Islam akan menurunkan beberapa tulisan.
Medan yang Berat
Dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten, ustadz muda itu mendarat di Bandara Internasional Minangkabau. Perjalanan dilanjutkan dengan mobil atau motor, dengan waktu tempuh sekitar 1-2 jam menuju Dermaga Bungus, dekat Pelabuhan Teluk Bayur. Biayanya sekitar Rp. 200.000, dengan kendaraan sewaan atau taksi.
Sesampai di Dermaga Bungus, dilanjutkan dengan menaiki kapal Ferry ‘Ambu-ambu’, dengan harga tiket sesuai kocek kantong yang ada. Untuk kelas ekonomi (Rp. 75.000), kelas bisnis/ber-AC (Rp.105.000). Jika ingin menggunakan matras untuk tidur, ada biaya tambahan sebesar Rp. 30.000/matras.
Jadwal kapal ini hanya ada pada hari Kamis dari Pelabuhan Bungus/Padng ke Dermaga Siberut. Berangkat jam 20.00, sampai di Dermaga Siberut jam 07.00. Adapun jadwal pulang atau kembali ke Padang hari Jum’at jam 17.00, sampai di Dermaga Bungus jam 03.00.
Selain kapal Ferry, juga dapat menaiki kapal kayu, jadwalnya setiap hari Senin, kembali ke Padang hari Selasa, dengan waktu tempuh yang sama dengan kapal Ferry ‘Ambu-ambu’. Jika ombak laut dalam keadaan tenang, maka kapal kayu bisa berangkat. Tapi jika ombak laut dalam keadaan pasang (tinggi), maka kapal kayu menunggu sampai keadaan ombak mereda, baru bisa berangkat.
Untuk kapal Ferry ‘Ambu-ambu’, tentu lebih kuat menghadapi terjangan ombak. Jika badai tak terlalu besar atau ombak tinggi, kapal ini tetap berangkat, mengingat ukuran kapal ini tiga kali lebih besar dari kapal kayu. Yang pasti, perlu kondisi fisik yang prima dan ekstra, jika kondisi ombak laut terlihat pasang, terutama yang suka mabuk laut.
Perjalanan selama 10 jam dengan kapal ‘Ambu-ambu’ berakhir di Dermaga Siberut, dan dilanjutkan lewat jalan darat dengan menggunakan motor atau mobil. Untuk mobil, hanya bisa sampai sekitar kantor Kacamatan Siberut Selatan, sekitar 5 km dari dermaga.
Perlu keahlian mengemudi di atas rata-rata, mengingat medan jalan yang sempit dan licin jika hujan atau setelah hujan. Belum lagi jembatan kayu yang bolong-bolong di beberapa tempat dengan kondisi kayu yang tidak sama sekali dipaku. Sebagian kayu juga terlihat patah dan lapuk. Jika melintasi jembatan ini, ban mobil harus tepat di atas jakur kayu yang menumpuk.
Tepat pukul 09.00 WIB, tanggal 18 Mei 2012, sampailah Ustadz Aldi di daerah kecamatan Siberut Selatan. Adapun Siberut terbagi menjadi 5 kecamatan. Seluruh camatnya beragama Kristen, hanya Siberut Selatan inilah yang Muslim. Dan, hampir seluruh pejabat pemerintahan di Kabupaten Mentawai ini sampai ke tingkat desa dan dusun, seluruhnya dipegang oleh umat Kristiani, sedangkan umat muslim minoritas.
“Beberapa desa yang saya kunjungi, prosentase umat Islam tak lebih hanya 10%. Sekedar perbandingan, untuk tiga desa saja, di sekitar saya tinggal, Desa Muara, Desa Muntai, dan Desa Mailepet, ada 10 gereja, masjid hanya 3 buah dan 1 musholla (masih dalam proses pembangunan),” kata Aldi.
Masjid sebagai Motor Penggerak
Alhamdulillah, di Desa Muara ada masjid besar bernama Masjid Al-Wahidin. Letaknya sangat strategis, persis di pasar, dan dekat dengan Pusat Pemerintahan Kecamatan Siberut Selatan. Di depan masjid, terdapat lapangan yang luas. Lapangan ini sering digunakan untuk acara-acara adat setempat, termasuk acara pemerintahan, dan acara besar lainnya.
Di daerah ini, pasokan listrik dipasok dari listrik desa, tapi mulai jam 13.000 – 17.00 listri padam. Uutuk shalat Jum’at dan shalat Asyar, masjid menggunakan diesel. Pamaakaian diesel dibuat sehemat mungkin, karena harga BBM di daerah ini, 1 liternya mencapai Rp. 8000. Jika pasukan BBM tersendat harganya mencapai Rp. 12.000, jika kondisi ketersediaan BBM sulit, harga dapat menembus Rp. 20.000, bahkan bisa lebih dari itu.
Saat mengisi khutbah Jum’ah di Masjid Al-Wahidin, Ustadz Aldi melihat neraca keuangan di papan informasi. Dilaporkan, kas minus, yang jumlahnya mencapai puluhan juta. Sungguh memperihatinkan.
Sebagai tempat ibadah, Masjid Al Wahidin Desa Muara menjadi motor penggerak dakwah dan pendidikan bagi anak-anak Mentawai dan warga pendatang. Walaupun masjid dalam proses renovasi, setiap ba’da zuhur dan asyar, masjid ini ramai oleh anak-anak yang belajar mengaji. Bagi para ibu, ada pengajian yang dilaksanakan satu kali dalam sepekan, yang tempatnya di rumah-rumah secara bergiliran. (Aldi/Desas)