View Full Version
Senin, 18 Jun 2012

MUI: Indonesia Hanya Punya Perda Ketertiban Umum, Bukan Perda Syariah

JAKARTA (VoA-Islam) - Sesungguhnya di Indonesia ini tidak ada yang namanya Perda Syariah, melainkan Perda yang mengatur ketertiban umum. Mungkin saja substansinya sesuai Syariah. Demikian dikatakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma'ruf Amin kepada Voa-Islam usai konferensi pers Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa  se-Indonesia di Sekretariat MUI Jakarta, belum lama ini, menanggapi stigmatisasi pihak-pihak tertentu terhadap perda-perda bernuasakan syariah di sejumlah daerah di Indonesia.

"Kalau ada Perda yang substansinya syariah, tentu akan banyak perda yang harus ditinjau ulang dong. Perda Anti Miras maupun Perda yang melarang pelacuran adalah contoh Perda yang mengatur ketertiban umum. Justru MUI terus mendorong dan memberi rekomendasi kepada pemerintah daerah agar membuat Perda serupa untuk mengatur ketertiban masyarakatnya," ujar KH. Ma’ruf.

Menurut Kiai Ma’ruf, membuat Perda Ketertiban umum yang substansinya sesuai dengan syariah adalah hak pemerintah daerah, bukan hanya di daerah Islam, tapi juga di daerah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Misalnya, seperti Perda Anti Miras di Papua.

Mendagri Keblinger

Senada dengan KH. Ma’ruf Amin, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) MS. Ka’ban, menyebut Mendagri Gemawan Fauzi sebagai menteri yang keblinger. “Mendagri telah terperangkap oleh opini Islamophobia. Apa yang dibuat oleh DPRD itu sah-sah saja, bahkan dapat menguatkan. Kewajiban menurut aurat (memakai jilbab) yang kemudian disahkan oleh DPRD, maka itu adalah peraturan daerah Kabupaten Tasikmalaya,” kata Ka’ban.

Ketika ditanya, apakah Perda yang mengatur tentang kewajiban menutup aurat itu merupakan Perda Syariah? Dikatakan Ka’ban, kenapa kita harus terperangkap oleh istilah. Intinya, selama tidak bertentangan dengan tauhid dan syariah, maka kita mengikuti dan mematuhinya.

“Sebagai contoh, di Vietnam, yang merupakan negara komunis, melarang seluruh masyarakat Vietnam untuk mengemis dan minum minuman keras. Lalu, apakah kita akan mengatakan Vietnam itu melaksanakan Syariah?”

UU atau Perda yang tidak bertentangan dengan Islam tentu tidak masalah. Adanya larangan miras atau pro adalah bukti, bahwa Islam itu mengajarkan kebaikan. “Hendaknya kita tidak terperangkap oleh idiom. Larangan membuka tempat prostitusi adalah amanat UU. Terlebih Islam memang melarang prostitusi, lalu kenapa kita mengatakan itu produk syariah, padahal itu produk DPRD.”

Mendagri berdalih Perda bernuansakan syariah bertentangan dengan Otonomi Daerah. Ka’ban menegaskan, "Jangan istilah syariah dipojokkan, padahal itu aspirasi seluruh anggota DPRD yang ada. Saya menilai, ada kekeliruan persepsi Mendagri terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh daerah. Terpenting, selama rujukannya UUD 1945 dan UU yang ada di Indonesia, itu berarti sesuai dengan konstitusi nasional."

Tak dipungkiri bahwa daerah-daerah seperti Cianjur, Tasikmalaya, Bulukumba dan daerah lainnya, dimana aspirasi masyarakatnya menghendaki untuk memberlakukan syariat Islam. Namun, kata Ka'ban, sepanjang Perda tersebut disahkan oleh DPRD setempat dan tidak membuat konstitusi baru, tentu aspirasi itu harus diakomodir.

“Adanya Perda yang mengatur tentang kewajiban berjilbab, pada hakekatnya sama saja ketika seorang karyawan di sebuah perusahaan, dimana perusahaan itu memberlakukan aturan, keharusan atau tidaknya karyawan mengenakan jilbab. Jadi, selama rujukannya dibuka lebar oleh UUD 45, tak perlu membuat stigma negative,” ungkap Ka’ban, mantan Menteri Kehutanan RI, lugas.

Jubir FPI Munarman juga menambahkan, istilah Perda Ketertiban Umum sebenarnya adalah taktis saja. Ini adalah upaya perdebatan untuk melakukan perang opini. Sebetulnya semua yang substansinya syariat adalah untuk menjaga kepentingan umum. “Larangan berpakaian seksi, juga diberlakukan Italia Selatan dan Jerman. Banyak angka perempuan yang diperkosa, sehingga diberlakukan larangan berpakaian seksi. Jadi saya kira, perda ketertiban umum tidak bertentangan dengan konstitusi dan syariah.”

Sekarang ini, kata Munarman, banyak orang bodoh, yang tidak mengerti syariat, lalu berkomentar serampangan. Ditambah lagi, medianya yang jahil yang kerap memplesetkan berita yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Sebagai contoh, ketika Metro News memberitakan serimoni pembakaran buku yang menghina Nabi Saw, sebagai bentuk pelanggaran konstitusi, padahal yang membakar buku tersebut, justru pihak Gramedia itu sendiri. Bukan FPI. Ini membuktikan, terjadi media anti Islam itu bermain kata-kata.  Desastian


latestnews

View Full Version