JAKARTA (VoA-Islam) – Cita-cita untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia merupakan cita-cita bersama, khususnya umat Islam. Namun harus diakui, untuk mewujudkan itu, setiap kelompok memiliki perbedaan pandangan dalam merealisasikan tegaknya syariat, apalah melalui jalur formal atau non-formal, melalui jalur demokrasi atau di luar demokrasi.
Ketika ditanya, bagaimana dengan ikhwan yang berjuang, namun tidak melalui jalur demokrasi? Menurut Ka'ban, dulu Kartosuwiryo berjuang dengan menggunakan senjata, tapi kemudian kalah. Kalau kalah, maka patuhlah pada yang menang.
"Nah untuk membangun dan memperjuangkan NKRI, tentu harus ada landasan hukumnya. Ini kalau kita bicara, bagaimana cara berpikir formal. Bagi temen-temen yang tidak memakai jalur formal, maka bisa memakai jalur ormas. Monggo. Jalur yang berbeda itu, tentu saja bisa bertemu, dan sangat bisa," jelas Ka'ban.
Sementara itu dikatakan Ketua FPI Divisi Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, Munarman, soal ikhwan yang tidak berjuang di jalur demokrasi, menurutnya, tidak apa-apa, tak perlu dipersoalkan. Lagi pula demokrasi itu tidak wajib. Jadi, lakukan yang wajib saja.
Bukankah umat Islam harus memiliki kekuatan yang full, terutama saat mememilih capres syariah, seperti yang diusung Forum Umat Islam (FUI)? “Tidak ada keharusan untuk memilih. Dalam hal ini, harus dipisahkan, antara memilih orang untuk menduduki kekuasaan dengan asas demokrasi. Yang haram dari demokrasi adalah hukum menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal berdasarkan suara terbanyak. Itu yang haram.”
Dalam Islam, memilih pemimpin itu ada sejarahnya. Misalnya, ketika menunjuk Khalifah pertama. Ada juga proses dengan cara ditunjuk pada orang tertentu ketika Khalifah Abu Bakar As Shiddiq menunjuk Utsman bin Affan sebagai penggantinya.
“Memilih orang dalam Islam, prinsipnya adalah dengan cara membaiat. Sang Pemimpin membaiat pengikutnya atau yang memilih agar menjalan syariat Allah, dan patuh pada pemimpinnya. Itu yang dilakukan Nabi Saw. Cara ini bukanlah demokrasi.”
Menurut Munarman, bicara memilih itu adalah menyangkut soal ilmu dan pilihan. Lagipula ini masuk wilayah ikhtilaf, tidak wajib, perbedaan itu tapi bisa dipaksakan. Karena tidak wajib, maka boleh-boleh saja jika ada yang memilih abstain.
Lalu apa kontribusi yang signifikan bagi ikhwan yang tidak memilih jalur formal (pemilihan) atau berada di luar? Munarman mengatakan, ketika pemimpin terpilih menetapkan dan memberlakukan syariat Islam, maka tugas dan kontribusi ikhwan yang tidak memilih (non formal) adalah mengawal pemimpin Islam tersebut, dan melakukan perlawanan terhadap musuh-musuh Islam yang hendak melakukan kudeta. “Kita bisa bekerjasama dalam soal itu. Tapi kalau tidak mau juga melawan dan menghancurkan setiap upaya kudeta, ya repot,” tukas Munarman.
Menentukan nama-nama kepemimpinan syariah, kata Munarman, masih bisa diperdebatkan. Intinya masih terbuka peluang nama-nama lain untuk ditunjuk atau dipilih. Siapa pun yang paham syariat Islam, bisa berbaiat. Desastian