JAKARTA (VoA-Islam) - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) di Tasikmalaya dan Qanun Jinayah di Aceh serta puluhan “Perda Syariat” yang kemudian sebagian besar dibatalkan oleh penguasa di negeri ini, betapa ini menunjukkan kuatnya dorongan arus bawah untuk membawa hukum syariah ke ranah hukum positif. Tapi kemudian aspirasi itu dibendung oleh Mendagri atas nama presiden. Bukti, Mendagri telah mengingkari sikapnya sebagai seorang yang mengaku dirinya muslim.
Demikian, kajian itu terungkap dalam “Seminar Hukum Hudud: Hukum Islam Menjawab Masalah Korupsi di Indonesia” di Sekretariat DPP Hidayatullah, Jakarta, Sabtu (23 Juni 2012). Acara yang diselenggarakan oleh Forum Silaturrahim Masyarakat Peduli Syari’ah (MPS) ini menghadirkan sejumlah narasumber, yakni: Ustadz Nanang Ainurrofiq, Lc (Ketua JAT Jakarta), Ustadz Drs. Fauzan Al-Anshory, MM, Ustadz, Dr. Ir. Muhammad Nanang Prayudyanto, MSc (Ketua MPS Bekasi), dengan dua keynote speaker: KH. Muhammad Al Khaththath (Sekjen FUI), H. Bambang Setyo, M.Sc (Ketua Presidium MPS). Acara ini juga didukung oleh Majalah Hidayatullah, Radio Dakta dan Voa-Islam.
Menurut Ketua MPS Bekasi, Muhammad Nanang Prayudyanto, Perda Kota Tasikmalaya No. 12 tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan yang Berlandaskan pada Ajaran Agama Islam dan Norma-norma Sosial Kemasyarakatan Kota Tasikmalaya yang dikeluarkan pada tahun 2009, yakni sebuah aturan yang menuntut wanita berbusana sopan dan Islami, sesungguhnya tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada.
Aturan-aturan tersebut sudah dievaluasi di provinsi, sudah dikaji di fakultas hukum, dan sudah dikonsultasikan ke kejaksaan. Bahkan, Walikota Tasikmalaya sendiri menyebutkan, beberapa pelaksanaan yang terkandung dalam Perda tersebut yang terdiri dari soal akidah atau keyakinan maupun ibadah, itu bukan mengatur ibadah, hanya membantu supaya ibadah lancar.
Aturan itu bukan hanya untuk umat Islam saja, tetapi untuk semua agama, seperti halnya di Bali ketika digelar kegiatan Nyepi, baik yang Hindu maupun yang non Hindu, semua motor harus dimatikan, tak terkecuali pesawat tidak boleh ada yang landing.
Hukum Hudud
Dikatakan Nanang, Hukum Islam sering dilabelkan oleh kaum munafik sebagai hukum yang kejam, tidak berperikemanusiaan, tidak modern dan ketinggalan zaman. Padahal hukuman-hukuman itu muncul sebagai rahmat bagi semua makhluk. Hukuman hudud dalam Islam merupakan kemaslahatan besar bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Islam mengharamkan mencuri, ghasab, mencopet, riba, korupsi, mengurangi timbangan suap, dan sebagainya. Dalam QS Al Maidah ayat 38, Islam memberikan hukum yang berat kepada pencuri, yakni hukum potong tangan. “Pencuri laki-laki dan perempuan maka potonglah keduanya sebagai balasan atas apa yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah Swt,” demikian firman Allah.
Bentuk hukum Islam itu terdiri dari: 1) hudud, 2) jinayat 3) mukhalafat. Adapun ayat-ayat tentang wajibnya melaksanakan hukum Islam ditekankan khusus terhadap mereka yang menolak secara terang-terangan. Barangsiapa yang tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir, Zhalim, dan fasik. (QS. Al-Ma’idah: 44, 45, dan 47).
“Sesungghunya berhukum kepada Syari’at Islam wajib hukumnya bagi kaum muslimin, dan hal ini merupakan pokok iman (ashlul iman), sehingga orang yang tidak melaksanakannya -- ketika ia wajib dan mampu melaksanakannya, maka ia kafir,” kata Nanang.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengeluarkan fatwa haram terkait Korupsi. Menurut MUI, korupsi (risywah) adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada pejabat dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak. Pemberi disebut sebagai rasyi, penerima disebut murtasyi dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra’isy.
MUI juga memutuskan tentang pemberian hadiah kepada pejabat. Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya. Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan (maksud) apa-apa, maka memberikan dan menerima tersebut tidak haram.
Qanun Jinayat di Aceh
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh berencana mengusulkan draft revisi qanun jinayah. Dalam hal itu, MPU akan memasukkan qanun tentang korupsi dengan sanksi hukuman potong tangan. Karena dalam qanun jinayah, aturan itu belum disebutkan. Hukuman tersebut diberlakukan apabila jumlah yang diambil melebihi jumlah nisab yang ditentukan nantinya.
Dalam isi qanun korupsi, akan disebutkan jumlah batas nisab yang dapat dijerat hukuman potong tangan. Misalnya jika melebihi 90 gram emas, dapat dikenakan potong tangan, baik dilakukan si miskin maupun si kaya. Dengan demikian, hukuman potong tangan, hanya diperuntukkan bagi orang yang memang mencuri untuk keperluan kemewahan dan kepentingan untuk kesenangan diri.
Pengumpulan data untuk menyusun sebuah draft hukum korupsi, MPU akan merujuk pada literatur sendiri, yakni sesuai Qanun Asyi Mukuta Alam yang dulu digunakan pada masa pemerintahan Iskandar Muda hingga Aceh pada masa penjajahan Belanda. Desastian