JAKARTA (VoA-Islam) – Kejahatan korupsi dalam persepektif pidana syariah dimasukkan ke dalam kejahatan ta’zir, yaitu kejahatan yang bentuk hukumannya diserahkan kepada keputusan Hakim (Qadhi).
“Jika mencuri barang seharga satu juta bisa dipotong tangannya, tentulah tidak adil jika mengkorupsi uang rakyat hingga trilyunan rupiah cuma dipotong tangannya. Kejahatan korupsi yang merugikan rakyat banyak akan terasa lebih adil jika dihukum gantung di tugu Monas, supaya rakyat bisa melihat hasil perbuatannya itu,” ungkap Direktur Lembaga Kajian Syariat Islam (LKSI) Ustadz Fauzan Al-Anshari dalam “Seminar Hukum Hudud: Hukum Islam Menjawab Masalah Korupsi di Indonesia” di Sekretariat DPP Hidayatullah, Jakarta, Sabtu (23 Juni 2012) lalu. Acara ini juga didukung oleh Majalah Hidayatullah, Radio Dakta dan Voa-Islam.
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pernah memproklamasikan “Jihad Melawan Korupsi”, namun sampai hari ini tidak ada bukti jihad tersebut. Oleh karena kejahatan korupsi sudah sangat luar biasa, maka harus ditempuh tindakan hukum yang juga luar biasa.
“Tindakan hukum yang luar biasa itu bukan dengan membuat panitia adhoc, seperti KPK dengan gaji ratusan juta per bulan, melainkan harus diterapkan hukum yang luar biasa, yakni hukum yang berasal dari langit (wahyu). Jika tidak, maka kejahatan tersebut akan semakin merajalela dan segera menghancurkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ungkap
Melihat urgensi masalah ini, MUI akan menyelenggarakan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonsia pada 29-2 Juli 2012 mendatang di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam pertemua itu, MUI akan merumuskan sejumlah fatwa, salah satunya mengenai boleh-tidaknya negara merampas ase koruptor. Yang akan menjadi ajang perdebatan dalam ijtima’ ulama nanti adalah lebih kepada asset yang tidak terbukti berasal dari tindak pidana korupsi, tetapi juga tidak bisa dibuktikan asset tersebut miliknya.
“Kegiatan ini sebagai bentuk respon MUI atas isu pemiskinan koruptor. Bagaimana respon MUI tentang upaya penerapan hukum potong tangan bagi pencuri dan takzir bagi koruptor, saat ini belum ada tanggapan. Melalui Forum Silaturahim Masyarakat Peduli Syariah (MPS) ini, saya ingin memberikan masukan kepada MUI dan semua pihak yang ingin membasmi korupsi dengan hukum Islam,” kata Fauzan.
Hukum Hudud
Bicara soal hukum hudud (potong tangan) bagi pencuri, Fauzan mengatakan, bahwa syariat itu adalah aturan Allah yang diturunkan kepada umat manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Jika hukum hudud itu tidak tegakkan, maka sampai kapanpun kehidupan manusia tidak akan mencapai kebahagiaan yang hakiki.
Bila penerapan hukum potong tangan ini dilakukan secara diskriminatif, misalnya, jika pencurinya dari kalangan rakyat miskin dihukum, tapi giliran pejabat dibebaskan, maka hal itu akan berbuah malapetaka yang amat dahsyat, yakni mengundang kehancuran bagi negeri tersebut, sebagaimana hadits Rasulullah saw: “Hanyalah kerusakan orang-orang sebelum kalian, apabila di kalangan mereka yang mencuri itu dilakukan oleh orang mulia (pejabat), maka mereka meninggalkan hukum itu. Tetapi apabila yang mencuri adalah orang lemah (rakyat biasa), maka mereka memotong tengannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasai, At Tirmidzi dari Aisyah).
Hukum potong tangan ini juga diterapkan sepeninggal Nabi Muhammad Saw, misalnya pada masa Khalifah Umat bin Khattab ra: Dari Yahya bin Abdurrahman bin Hathib: “Sesungguhnya budak milik Hathib bin Abi Balta’ah mencuri onta milik seorang lelaki dari Muzainah, lalu mereka menyembelih onta tersebut. Kemudian kasusnya sampai kepada Umar bin Khatttab, maka Umar memerintahkan kepada Katsir bin As-Shalt untuk memotong tangan mereka…”(HR. Asy-Syafi’I dari Malik).
Dikatakan Fauzan, jangan salah, bahwa dalam syariat Islam, korupsi (ghulul) memang tidak termasuk kejahatan mencuri, karena mencuri itu dilakukan secara diam-diam terhadap harta orang lain yang memang berada di luar kekuasannya. Sedangkan korupsi adalah tindakan mengambil barang milik orang lain yang memang barang itru diamanahkan kepadanya.
“Misalnya, seorang pejabat diserahi proyek pembangunan, kemudian tanpa sepengetahuan pemiliknya (rakyat), uang itu dipotong sebagai komisi atau apapun namanya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Akibatnya kualitas bangunan itu tidak sesuai perencanaannya, sehingga mudah ambles atau rusak,” kata Fauzan.
Mahkamah Syariah
Menurut Fauzan yang juga anggota Masyarakat Peduli Syariah (MPS), untuk menegakkan hudud dibutuhkan otoritas (kekuasaan) dari Negara. Oleh sebab itu, sebaiknya MMUI menuntut kepada pemerintah untuk membentuk Mahkamah Syariah sebagai lembaga yang berwenang mengadili para pelau kejahatan hudud (murtad, pembunuhan, miras/narkoba, perzinahan, dan pencurian)
“Selain itu juga bisa meng-up grade wewenang Pengadilan Agama, tidak hanya mengadili nikah, talak, cerai dan rujuk, tetapi juga mengadili para koruptor. Mengenai sumberdaya manusia tidak usah khawatir, karena para pakar syari’at sudah semakin banyak di Indonesia, baik lulusan dalam negeri maupun Timur Tengah,” ujar Fauzan.
Dengan adanya Mahkamah Syariah tidak perlu lagi membuat undang-undang sebagaimana lazinya sistem hukum kontinental yang dianut sekarang ini, karena proses pembuatannya akan menguras energi yang sangat banyak. Sedangkan perkembangan kejahatan hudud lebih cepat daripada menunggu disahkannya suatu UU.
“Dengan demikain terjadi efesiensi, apalagi sanksi utama bukan penjara yang menguras anggaran negara dan out put-nya juga tidak maksimal. Untuk itu perlu dilaji lebih lanjut proses pembentukan Mahkamah Syariah untuk memfasilitasi pengadilan terhadap para koruptor, apalagi pelakunya banyak yang beragama Islam,” kata Fauzan. Desastian