TASIKMALAYA (VoA-Islam) – Siang tadi, Jum’at (29 Juni 2012) Wakil Presiden RI Boediono membuka Ijtima’ Ulama Komisi se-Indonesia ke IV di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Sedianya, yang membuka adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun karena meresmikan hotel milik Chaerul Tanjung di Lembang, Bandung, Wapres diminta untuk mewakili dan memberikan sambutan pada pembukaan Ijtima’ Ulama hari ini.
Hadir bersama Wapres antara lain Menteri Agama Suryadharma Ali, Ketua MUI K.H. Sahal Mahfudz, dan Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf. Ijtima’ Ulama yang berlangsung sejak 29-2 Juli ini dihadiri oleh 800-an peserta, terdiri dari pimpinan MUI seluruh Indonesia, pimpinan ormas Islam tingkat pusat, pimpinan perguruan tinggi Islam, pimpinan pondok pesantren, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan para utusan asosiasi Muslim dari 20 negara.
Dalam sambutannya, Boediono mengatakan, tema yang diangkat majelis ini, yaitu "Meningkatkan Perkhidmatan Ulama dalam Mengatasi Masalah Bangsa" sangat relevan bagi tantangan yang dihadapi kaum muslimin di tanah air saat ini.
Dikatakan Boediono, “Kita sedang berada pada era demokrasi yang semakin terbuka dengan didukung oleh perkembangan sistem dan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang sangat pesat. Bersama dengan itu, dimensi permasalahan umat Islam terus berubah seiring dengan perkembangan jaman.” Untuk itulah, kegiatan ini berupaya untuk mencurahkan segenap pikiran berdasarkan ilmu maupun bidang masing-masing untuk memecahkan berbagai tantangan itu berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits,” ujarnya.
Menurut Boediono, di dalam Islam, Fatwa mempunyai kedudukan yang tinggi dan dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan permasalahan umat yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, permasalahan yang mungkin belum diantisipasi sebelumnya. Untuk itu, Ijtima’ Ulama ini penting untuk dapat menjadi bekal para ulama dalam membimbing dan mengarahkan umat dalam kehidupannya sebagai bagian dari bangsa ini.
Kepada para ulama dan cendekiawan, Wapres berharap dapat terus memberikan pemikirannya agar bangsa ini bisa melewati segala tantangan yang dihadapi saat ini maupun di waktu mendatang.
“Kita bersyukur bahwa sudah banyak nasihat atau fatwa ulama mengenai masalah keagamaan dan masalah kemasyarakatan maupun yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas umat di bidang dakwah, ukhuwwah, tarbiyah, ekonomi dan kesejahteraan. Fatwa-fatwa MUI lahir sebagai produk pemikiran dan analisa para ulama yang dalam tingkat tertentu dapat dilihat sebagai hasil ijtihad kolektif.”
Menurut Boediono, MUI yang beranggotakan para ulama memiliki latar belakang corak pemikiran yang berbeda-beda. Mulai dari corak pemikiran yang relatif ketat hingga corak yang lebih progresif. Keberbedaan pandangan itu melalui kearifan pemikiran kemudian terfusikan dalam satu putusan fatwa yang tegas.
Dan dalam kenyataannya, kata Boediono, meski ijtihad dan pembuatan fatwa dapat dilakukan oleh banyak pihak, fatwa MUI diyakini lebih mewakili dan mengikat banyak pihak, oleh karenanya lebih representatif.
Fatwa Moderat
Ia mencermati bahwa tradisi Ijtima’ Ulama ini memiliki makna bagi penyegaran dan pencerahan pemikiran Islam di tanah air. Dari sini diharapkan terjadi kesinambungan proses pembelajaran kaidah-kaidah pemikiran keagamaan yang tawasuth (moderat) yang merupakan arus utama paham dan pemikiran keagamaan Islam di Indonesia.
“Islam adalah rahmatan lil ‘alamin dan sebagai konsekuensinya, terbuka bagi perbedaan-perbedaan pendapat di antara manusia. Sabda Nabi, ikhtilaf di antara (Ulama) umat Islam adalah rahmat. Rasul diriwayatkan terkadang membenarkan dua pendapat berbeda terkait sunnahnya untuk suatu masalah yang sama,” tandasnya.
Bahkan, lanjutnya, ada prinsip yang menyebutkan bahwa siapa saja yang telah berijtihad di antara Muslimin kemudian salah, maka dia akan mendapatkan satu pahala dan yang benar akan mendapatkan dua pahala. “Kiranya kita di sini perlu untuk terus mengingat ajaran Allah tentang pentingnya mendahulukan persatuan di kalangan umat Islam. Al-Qur’an mengajak seluruh Muslimin untuk bersatu dan bukan berpecah-belah,” ungkapnya seraya mengutip QS. Ali Imran, ayat 103.
Boediono memaparkan, bimbingan dan fatwa para ulama, adalah sandaran umat dalam memahami dan melaksanakan ajaran agamanya, bimbingan dan tuntunan para ulama yang sejuk dan menyatukan umat sangatlah penting di negeri kita yang penuh dengan keragaman, bukan hanya budaya, melainkan juga keragaman kelompok dan mazhab. Kita semua yakin dan percaya bahwa Majelis Ulama Indonesia yang sejak awal didirikan sebagai lembaga lintas kelompok dan golongan akan dapat melaksanakan amanah itu sebaik-baiknya .
Boediono menyampaikan, kiranya dapat menjadi pertimbangan dalam derap langkah MUI melalui Komisi Fatwa ke depan. Pertama, kiranya MUI dapat lebih menguatkan sinergi dengan berbagai kalangan ahli, baik akademisi kampus, intelektual lepas, atau pakar di manapun berada—terutama dalam hal-hal yang mendukung peran dan tugas MUI. Misalnya, dengan dokter atau ahli yang spesialis yang dapat mendukung penguatan reasoning fatwa di bidang kesehatan, dan juga di bidang-bidang lainnya.
Kedua, fatwa MUI tentu jauh lebih kuat pengaruhnya dibandingkan fatwa atau pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan yang ada. Karena MUI adalah kumpulan representatif dari ormas-ormas keagamaan itu. Karenanya, adalah sangat baik jika otoritas yang kuat itu hendaknya benar-benar difungsikan dalam menengahi berbagai perbedaan (khilafiyah) di antara umat.
“Kerukunan internal umat Islam, yang telah berkontribusi besar sebagai pilar penting kerukunan nasional, kiranya dapat terus terjaga dengan peran akomodatif dan rekonsiliatif MUI di tengah keberbedaan umat. Peran MUI yang otoritatif di mata semua kalangan umat akan semakin kuat manakala Majelis dapat mempertemukan perbedaan pandang menjadi keseimbangan pandang yang mencerminkan moderatisme Islam Indonesia,” katanya.
Dan ketiga, terkait fatwa, ia berharap fatwa-fatwa yang dihasilkan MUI, dari proses pengkajian, penyandaran hukum, dan analisanya, kiranya juga dipertimbangkan betul segi implementasinya dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat dinamis ini. “Kita berharap MUI dapat turut mengawal sosialisasi dan implementasi suatu fatwa, agar selain umat mengetahui juga dapat terwujud sinkronisasi dan harmonisasi masyarakat.”
Boediono menduga, beberapa pihak terkadang berkomentar negatif terhadap suatu fatwa MUI karena belum betul-betul membaca dan memahami fatwa dimaksud. Oleh karena itu penting untuk segera diluruskan dan dijelaskan secara gamblang dan baik, apabila terjadi kesalahpahaman makna dan kesejatian maksud dari suatu keputusan fatwa. Dengan demikian umat akan senantiasa mendapat pegangan yang mantap, sehingga ketentraman akan terwujud. Desastian