TASIKMALAYA (VoA-Islam) – Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia IV di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya mencermati pembahasan RUU tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang merupakan inisiatif DPR. Melalui RUU ini, DPR menginginkan agar dibentuk suatu badan bernama Badan Nasional Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BNP2H) yang secara khusus menjalankan kegiatan jaminan produk halal di Indonesia.
Sebaliknya, draft RUU yang dibuat Pemerintah sangat bertentangan dengan kondisi yang sudah ada saat ini. RUU ala pemerintah juga berseberangan dengan RUU JPH inisiatif DPR. Dalam hal ini, MUI hanya diberi peran sebagai peserta “Sidang Itsbat” yang bertugas menetapkan fatwa halal maupun fatwa terhadap bahan yang belum jelas status kehalalannya. Disisi lain, Pemerintah menghendaki agar jaminan produk halal ditangani oleh Kementerian Agama tanpa membentuk suatu lembaga baru.
RUU JPH DPR dan RUU JPR sandingan Pemerintah terkesan berusaha meniada peran MUI dalam kegiatan pemberian jaminan produk halal. Kedua lembaga (DPR dan Pemerintah) seakan melupakan sejarah jaminan produk halal di Indonesia. Merebaknya isu lemak babi yang sangat meresahkan masyarakat pada tahun 1998 itulah yang mendorong MUI mendirikan lembaga bernama LPPOM MUI, tepatnya pada 6 Januari 1989.
LPPOM MUI didirikan untuk melindungi dan meningkatkan ketenteraman batin umat Islam dalam mengkonsumsi produk, baik pangan, obat-obatan dan kosmetika. Selama 23 tahun, LPPOM MUI berhasil menghindari keresahan umat tentang kehalalan suatu produk. Untuk menghindari adanya persoalan perbedaan tentang kehalalan suatu produk, maka lembaga sertifikasi dan auditor halal, hanya yang didirikan oleh MUI.
Wacana sertifikasi halal yang akan diambil alih oleh pemerintah, menurut MUI, sangatlah tidak tepat. Pemerintah hendaknya menyerahkan urusan kehalalan suatu produk pada lembaga keagamaan seperti MUI yang memiliki kompetensi, kewenangan, dan otoritas yang telah diakui umat Islam maupun dunia internasional.
Bila penanganan produk halal ditangani oleh lembaga lain selain MUI, maka perlu diwaspadai adanya kemungkinan perbedaan paham, interpretasi, dan khilafiyah tentang status kehalalan suatu produk sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian dan “persengketaan” pendapat.
Terkait itu, Ijtima’ Ulama berpandangan sebagai berikut:
Kegiatan produk halal hendaknya melibatkan unsur MUI dan pemerintah. Sertifikasi halal merupakan kewenangan ulama yang memiliki otoritas, kompetensi dan legitimasi dalam menentapkan hukum Islam (syar’i) melalui usaha ijtihadiyah. Sedangkan institusi pemerintah melakukan tugas lain yang berkaitan dengan pengaturan formal (regulasi), pengawasan, dan law enforcement.
Pembagian Wewenang MUI & Pemerintah
Ijtima’ ulama merekomendasikan, peran MUI berperan dalam pemeriksaan (audit) produk; Penetapan fatwa kehalalan produk melaui sidang Komisi Fatwa; Penerbitan sertifikasi halal (fatwa tertulis), dan Pendidikan dan pelatihan auditor.
Adapun peran pemerintah dalam RUU JPH, adalah yang berkaitan dengan pengaturan formal (regulasi), diantaranya: pengaturan label halal pada kemasan produk halal; pengawasan produk yang beredar; pengawasan produsen produk halal; pembinaan, sosialisasi, komunikasi dan penyadaran; pengawasan/penyediaan sarana dan prasarana fisik yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan produk halal.
Peran pemeritah selanjutnya adalah penyelenggaraan kerjasama dengan negara lain di bidang perdagangan produk halal; penindakan (lawenforcement) terhadap berbagai pihak yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan jaminan produk halal; dan memberikan subsidi atau pembebasan biaya sertifikasi halal pada kelompok usaha mikro dan kecil melalui APBN/APBD.
Menurut MUI, posisi MUI tetap berada di luar pemerintah, sebagaimana yang selama ini dijalankan. Ini dilakukan semata-mata untuk menjaga kemandirian (independensi) ulama dalam pengambilan keputusan atas kehalalan suatu produk (halal, haram atau syubhat). Desastian