TASIKMALAYA (VoA-Islam) – Menurut Ulama, pencucian uang merupakan salah satu kejahatan yang sangat merugikan masyarakat, juga negara, karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional khususnya keuangan negara. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan tasyri' yaitu mencegah mafsadah dan menciptakan mashlahah.
Selain itu, pencucian uang menimbulkan kerusakan, kerugian, mudharat, sekaligus menjauhkan kemaslahatan dari kehidupan manusia, tercela, dan terlarang sehingga dapat disebut sebagai tindak pidana dan dalam konteks hukum Islam, dapat dikenai hukuman ta'zir bagi pelakunya.
Dalam kajian fiqih jinayah (hukum pidana Islam) klasik belum dikenal secara jelas mengenai tindak pidana pencucian uang. Secara umum, ajaran Islam mengharamkan mencari rejeki dengan cara-cara yang bathil dan penguasaan yang bukan hak miliknya, seperti perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan menimbulkan kerugian bagi orang lain atau korban itu sendiri.
Namun, melihat dari kompleksitas masalah terkait dengan modus operansi tindak pidana kejahatan yang kemudian disembunyikan seolah-olah menjadi aktivitas yang legal, yang dampaknya bisa meresahkan, membahayakan, dan merusak tatananan masyarakat, maka hukum pidana Islam perlu membahasnya, bahwa kejahatan ini bisa dikategorikan sebagai jarimah ta’zir.
Dijelaskan dalam Ijitima Ulama Komisis Fatwa di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, pencucian uang merupakan jarimah (tindak pidana), karena merupakan bentuk penggelapan (ghulul) dengan tujuan menyembunyikan dan menyamarkan aset yang diperoleh secara tidak sah.
Pelaku tindak pidana pencucian uang dihukum dengan hukuman ta’zir (sanksi pidana yang ditetapkan oleh negara). Menerima dan memanfaatkan uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang hukumnya haram.
Penerima uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang wajib mengembalikan kepada negara dan negara memanfaatkan untuk kemaslahatan umum. Penerima uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang dan telah mengembalikan kepada negara tidak dikenai hukuman.
Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV merekomendasikan: masyarakat diminta untuk berhati-hati dalam menerima uang dari pihak yang diketahui atau diduga keras (zhann) sebagai pelaku tindak kejahatan.
Pencucian Uang
Seperti diketahui, kejahatan pencucian uang pada umumnya diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mengubah uang hasil kejahatan seperti hasil korupsi, kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan dan kejahatan serius lainnya. Sehingga hasil kejahatan tersebut menjadi nampak seperti hasil kegiatan yang sah karena asal usulnya sudah disamarkan atau disembunyikan.
Pada prinsipnya kejahatan pencucian uang adalah suatu perbuatan yang dilakukan untuk menyamarkan atau menyembunyikan hasil kejahatan sehingga tidak tercium oleh para aparat, dan hasil kejahatan tersebut dapat digunakan dengan aman yang seakan-akan bersumber dari jenis kegiatan yang sah.
UU No. 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang mengamanatkan sejumlah tindakan hukum terhadap pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindakan hukum berdasarkan UU harus dilaksanakan oleh Pemerintah (Branch of Executive) dalam kerangka bangsa dan negara. UU tersebut merefleksikan aspirasi masyarakat dan bangsa Indonesia pada umumnya dalam upaya pemberantasan korupsi yang sudah mengancam kelangsungan hidup bangsa dan telah menjadi musuh rakyat dan seluruh bangsa ini. Desastian