JAKARTA (VoA-Islam) – Untuk mengisi liburan sekolah, menarik jika sobat Voa-Islam berkunjung ke Kampung Marunda, Jakarta Utara, sekitar satukilometer dari Pelabuhan Tanjung Priok. Di kampung inilah terdapat sebuah rumah panggung yang dikenal masyarakat setempat sebagai Rumah Si Pitung. Tak jauh dari rumah si Pitung, juga berdiri Masjid Alam Marunda yang disekelilingnya terlihat rawa-rawa.
Mau tahu sekilas Si Pitung, tokoh legendaris asal Betawi yang pernah melakuka fa’I dan perlawanan dengan Belanda di zamannya? Menurut catatan Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Utara dan pengamat budaya Betawi Ridwan Saidi, ibu kandung Pitung berasal dari Rawa Belong, ayahnya berasal dari Kampong Cikoneng, Tangerang. Diperkirakan Pitung lahir pada tahun 1806 di Tangerang. Sekitar usia delapan tahun, Pitung merasakan kehidupan yang pahit. Kedua orang tuanya bercerai. Ibunya menolak dijadikan istri tua.
Pitung bersama ibunya kembali ke kampung Rawa Belong, sedangkan ayahnya menetap di Cikoneng bersama istri mudanya dan tetap bekerja pada tuan tanah Cikoneng. Kemudian hari, Pitung menjadi buronan. Ia pun kerap berkunjung ke rumah Tuan Tanah Cikoneng.
Di Rawa Belong, Si Pitung menggembala kambing milik kakeknya. setelah berusia 14 tahun, Pitung dipercaya menjual kambing di pasar Kebayoran. Pada suatu hari, saat kembali dari pasar menjual kambing, Pitung dirampok. Ia tak berani pulang, takut dimarahi kakek dan ibunya. Sejak itu Pitung pergi mengembara.
Dalam pengembaraannya, sampailah ia di kampung Kamayoran, dan berkenalan dengan Guru Na'ipin, seorang ahli tarekat yang pandai bersilat. Guru Na'ipin adalah murid Guru Cit, seorang mursyid. guru tarekat dari Kampong Pecenongan, Jakarta Pusat. Sekitar enam tahun Pitung berguru pada Na'ipin.
Guru Na'ipin bersahabat dengan Mohammad Bakir, pengarang Betawi akhir abad XIX. Karya Mohammad Bakir tersimpan di sejumlah museum terkemuka di dunia, antara lain: St Petersburg, Rusia, London, dan negeri Belanda. Dari titik inilah Nai'ipin membangun hubungan dengan jaringan Jembatan Lima, Jakarta Barat, yang ketika itu sudah dipimpin Bang Sa'irin. Di kampung inilah segala gagasan pemberontakan dan perlawanan terhadap Belanda dimulai. Sebagai catatan, Jaringan Jembatan Lima sebelumnya dipimpin oleh Cing Sa'dullah, juga seorang pengaran Betawi.
Aksi Tidak Berkomplot
Dalam menjalankan aksi perampokannya, Si Pitung tidak membangun komplotan, melainkan kompak berdua dengan sepupunya Ji'ih yang kemudian di hukum mati. setelah itu Si Pitung bekerja sendiri. Ketika itu sulit bagi polisi untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan Pitung.
Apa yang dikenal sebagai rumah si Pitung yang berlokasi di Marunda, Jakarta Utara, sesungguhnya adalah rumah haji Safiudin, seorang Bandar perdagangan ikan. Ada dua versi tentang perampokan di rumah Haji Safiudin. Versi pertama mengatakan, Pitung benar-benar telah merampok Haji Safiudin. Versi kedua, meragukan kalau Haji Safiudin sempat dirampok. Diperkirakan ketika itu justru terjadi kesepakatan antara Safiudin dan Pitung. Selanjutnya Safiudin menyerahkan sejumlah uang. Ridwan Saidi menyakin versi kedua yang mungkin terjadi.
Selama delapan tahun (1886-1894) Si Pitung telah meresahkan Batavia. Panasihat pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputera, Snouck Hurgronje mengecam habis kepala polisi Batavia, Schout Hijne yang tak mampu menangkap Pitung.
Snouck Hurgronje menganggap amat keterlaluan kalau seorang Eropa seperti Hijne sampai harus berdukun untuk bisa menangkap Pitung. Selanjutnya, Hurgronje menganggap kepala polisi ini sangat tidak terpelajar, karena tak mampu menghadirkan alat transportasi baru kereta api.
Lebih menggusarkan lagi, Si Pitung dapat meloloskan diri dari penjara Meester Cornelis ketika tertangkap pada tahun 1891. Tidak hanya itu, di luar penjara Si Pitung masih sempat membunuh Demang Kemayoran, yang menjadi musuh petani-petani Kebayoran dan telah menjebloskan saudaran misan Pitung, bernama Ji'ih yang kemudian dihukum mati.
Margriet Van Teel dalam laporan penelitiannya (1984) mengungkapkan bahwa polisi Belanda pernah mengerebek rumah Si Pitung di Rawa Belong. Dan ternyata di rumah itu, yang ditemukan hanyalah beberapa keping uang benggolan senilai 2,5 sen yang tersimpan di bambu. Padahal, selama 8 tahun Si Pitung melakukan aksi perampokan dengan sasaran saudagar yang dinilainya bersekutu dengan Belanda telah mengeruk uang dan emas permata yang tidak sedikit dari jumlahnya.
Kemana Hasil Rampokan?
Menurut Ridwan Saidi, Si Pitung tidak pernah menikmati hasil rampokannya. Ia tak pernah beristri, karena buronan yang tidak menetap di suatu tempat. Ia juga bukan penjudi, ataupun pemabuk. Ia seorang penganut tarekat.
Menurut Margriet Van Teeel, Pitung dapat menulis aksara Melayu dan Arab. dilaporkan, bahwa tatkala dipenjara di Meester Cornelis (Jatinegara), Pitung sempat beberapa kali menyelundupkan surat yang ditujukan pada pengurus mesjid Al-Atiq, Kampung Melayu. Dalam surat itu pula Pitung menggunakan nama samaran Solihun.
Di kalangan tarekat, kala itu, berkembang keyakinan bahwa harta musuh untuk kepentingan perjuangan adalah halal. Ini disebut fa'i. Pitung menjalankan tugas ini setelah tokoh-tokoh pemberontakan petani di Jakarta dan sekitarnya kesulitan dana karena penyandang dana selama itu pelukis Raden Saleh telah disita kekayaannya pada tahun 1870, karena terlibat pemberontakan petani. Pada 1880 Raden Saleh meninggal dunia di Bogor dalam keadaan miskin.
Seluruh hasil rampokan Pitung diserahkan untuk kepentingan perjuangan. Bukan dibagi-bagikan langsung kepada rakyat kecil, sebagaimana selama ini didongengkan. karena itulah Pitung amat sulit ditangkap karena jaringannya amat luas. Bahkan salah seorang calon korbannya, Haji Safiudin kampung Marunda, akhirnya menjadi mitranya. Pitung seringkali berkunjung ke rumah Haji Safiudin di Marunda yang kemudian dikenal sebagai rumah Si Pitung.
Tak ada sejarawan yang tahu dimana Si Pitung dimakamkan. Sangat disayangkan, jika Rumah Si Pitung ini tampak tak terurus dan terkesan kotor dan kumuh. Desastian