JAKARTA (VoA-Islam) – Mendiang Gus Dur mengatakan, “Sejak dulu, kelompok yang suka dengan cara kekerasan itu memang mengklaim diri sedang membela Islam, membela Tuhan. Bagi saya, Tuhan itu tidak perlu dibela!”
Ungkapan Gus Dur yang menyebut “Tuhan itu tidak perlu dibela!’ itu justru bertentangan dengan ayat:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad:7).
Kaum fasik liberal sepertinya menyembunyikan dalil tersebut yang nyata dan lebih eksplisit tentang pembelaan terhadap agama Allah. Begitu juga dalam QS. Al Hajj ayat 40 :“…Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Maha Perkasa.”
Tapi dengan angkuhnya, kaum liberal menolak ayat itu sebagai dalil, karena QS. Muhammad ayat 7, katanya, digunakan dalam konteks tazkiyyah tauhid melawan penyembah berhala. Kaum liberal menyimpulkan, dalil ini tak bisa digunakan dalam konteks kekinian jika bukan melawan orang-orang musyrik.
Ayat-ayat itu menurut kaum fasik liberal, juga tak bisa digunakan sebagai dalil membela agama Allah, ketika misalnya Islam dirongrong oleh mereka yang mengaku sebagai nabi setelah Muhammad, mengaku sebagai Jibril, bahkan mengaku sebagai Tuhan. Atau ketika aturan Islam dilecehkan dan diputarbalikkan sedemikian rupa yang dikemas dengan argumentasi seolah-olah ilmiah.
Bahkan bisa diartikan pula ayat-ayat itu itu tak bisa digunakan dalam konteks perjuangan dakwah di bidang apapun misalnya pendidikan, kesehatan, politik, dan ekonomi umat. Karena maknanya dipersempit sedemikian rupa (sebuah anomali kelompok JIL yang anti tekstualis).
Riza Almanfaluthi, seorang blogger yang menulis di blog pribadinya (dedaunan di ranting cemara) mencoba melakukan counter terhadap kebodohan kaum fasik liberal. Merujuk pada Muhammad ayat 7, jika kita menolong Allah, maka ada dua hal yang didapat, yaitu kita akan ditolong Allah dan diteguhkan kedudukan kita. Di dalam QS. Al Hajj ayat 41 itu, orang yang diteguhkan kedudukannya, niscaya mereka berbuat amar makruf nahi mungkar.
Umat Islam adalah umat yang aktif, yang senantiasa bergerak dan berjuang, bukan umat yang pasif bahkan fatalis. Amar makruf nahi mungkar adalah kerja nyata untuk membendung dan melindungi umat dari setiap kesesatan dan penistaan agama.
Membela Agama Allah pada dasarnya adalah demi untuk kebaikan manusia itu sendiri dan alam di sekitarnya, demi untuk kenyamanan hidup di dunia agar kita (manusia) bisa aman, tentram, damai dalam menjalani kehidupan, bebas dari ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta, sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran Al A'raaf (96):
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."
Melemahkan Semangat Jihad
Ujung dari pernyataan Tuhan dan Islam yang tak perlu pembelaan itu adalah pelemahan semangat jihad kaum muslimin. Karena umat Islam dituntut untuk bersikap pasif saja. Cukup menjadi objek derita dari apa yang menimpanya. Mulai dari serangan pemikiran, invasi, pembusukan, perpecahan umat, kemiskinan, kebodohan, pembodohan, penindasan, diskriminasi, penyakit masyarakat, dan semua yang melemahkannya.
Ketika umat dituntut untuk tak perlu pembelaan, maka sebenarnya pula ini menihilkan makna dari iman kepada Allah itu sendiri. Mengapa demikian? Karena ketika kita beriman kepada Allah swt, maka konsekuensinya adalah kita cinta kepada Allah. Cinta ini akan menghasilkan sebuah loyalitas terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya. Ketika kecintaan itu dan loyalitas kepada Allah tumbuh, maka ia akan berupaya mewujudkan kerelaan untuk berkorban. Berkorban apa yang dimilikinya—bahkan jiwanya, untuk membela syariat-Nya, saudara-saudaranya, dan keyakinannya.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, Akmal Syafril (tokoh Indonesia Tanpa JIL) menggambarkan bahwa cinta itu butuh pembuktian meskipun tak ada yang meminta. Orang tua mungkin tidak pernah meminta agar anak-anaknya menanggung kehidupannya pada masa tua kelak. Namun orang yang mengabaikan orang tuanya yang sudah renta, maka kecintaannya niscaya dipertanyakan.
Demikian halnya, bila istri dimaki orang, tak perlu diminta pun suami harus memberikan pembelaan. Akal siapa pun akan mampu memahami hal ini. Cinta dan pembelaan adalah dua sisi mata uang; jika ada cinta, pasti ada pembelaan. Dengan kata lain, jika tak ada pembelaan pastilah tak ada cinta.
Dan cukupkah ketika melihat penistaan, pembusukan, serta kemungkaran itu umat berdiam diri? Umat cukup pasif? Tidak. Karena diam adalah selemah-lemahnya iman. Kanjeng Nabi SAW pernah berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia merubah dengan tangan, jika tidak bisa maka dengan lisannya, jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemah iman.”
Diam ketika seorang muslim menjadi objek penderita, maka sama saja menjadikan umat Islam menjadi umat yang fatalis, umat yang sangat pasif, pasrah, dan tak punya pilihan sama sekali dalam hidup. Tidak. Tidaklah begini tuntutan iman kepada Allah, hari akhir, dan qadha qadarnya.
Dan ketika berhadapan dengan penyeru kesesatan, cukupkah umat diam atau paling banter menasehatinya? Tentu, nasehat adalah jalan agama. Tahapannya adalah dengan lisan untuk menasihati, menggunakan kekuasaan (tangan) untuk merubah. Jika belum mampu, maka dengan doa dan munajat. Setidaknya terbersit dalam hati untuk menolak kemungkaran. Berserah diri pada Allah (tawakal) adalah jalan terakhir.
Intinya, Islam itu harus dibela dan ditegakkan, kezaliman dan kesewenang-wenangan itu harus dilawan, kebodohan dan kemiskinan itu harus diperangi, kebatilan dan kefasikan itu harus diluruskan. Amar ma’ruf nahi munkar adalah jalan para mujahid dan tentara Allah. Rasulullah mengisyaratkan, kebatilan yang disikapi, hanya dengan hati adalah tanda selemah-lemahnya iman. Desastian