JAKARTA (VoA-Islam) – Dalam sebuah bedah buku “#Indonesia Tanpa Liberal”, pengamat gerakan Theosofi dan Liberalisme, Artawijaya, mengatakan, kelompok liberal maupun gerakan theosofi awalnya mengkampanyekan semua agama sama. Tapi kemudian, mereka berani mengatakan, tak beragama pun tak mengapa. Inilah cara pemurtadan yang dilakukan secara halus oleh kaum Zionis, kalangan orientalis, dan aktivis liberal. Pluralisme agama pun berujung pada atheisme.
“Mereka tak butuh agama dan bertuhan, yang penting mengedepankan perilaku humanisme, kasih sayang, rasa persaudaraan, mengabdi pada kemanusaian. Kaum liberal pun sudah ada yang mengkampanyekan, tanpa agama kita bisa bemoral dan beretika. Bahkan mereka berpandangan, kaum pluralis bisa lebih humanis ketimbang mereka yang beragama. Tuhan pun tak perlu dibela, seperti ucapan Gus Dur dalam sebuah artikelnya di Majalah Tempo, yang kemudian menjadi inspirasi baik kaum fasik liberal,” ujar Artawijaya saat membedah buku terbarunya di Toko Buku Islam Walisongo, Jakarta, Ahad (30/7).
Pandangan keagamaan yang liberal itu, kata Arta, mendorong mereka menggugat perda-perda anti maksiat di sejumlah daerah. Bahkan, kaum liberal kerap melakukan pembelaan terhadap pelacur, seraya mengatakan, pelacur itu memiliki martabat yang harus dihormati, karena ia mencari nafkah untuk keluarganya.
Dalam presentasinya, Artawija membongkar habis ucapan dan pernyataan dari beberapa orang yang berpandangan liberal, sebut saja seperti Dawam Raharjo, Ulil Absar Abdalla, Luthfi As-Syaukanie, Sukidi, dan tokoh liberal lainnya.
Dawam Rahardjo yan dulu dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, (kini sudah dipecat keanggotaanya) pernah melontarkan ucapan ngawurnya: “Berpindah agama tidak berarti murtad, melainkan menemukan kesadaran baru dalam beragama. Berpindah agama juga tidak bisa disebut kafir, karena istilah kafir bukan berartimempunyai agama lain, melainkan menentang perintah Tuhan. Perpindahan agama harus dianggap peristiwa biasa.”
Begitu juga pengajar di Universitas Paramadina seperti Luthfi As Syaukani yang berpandangan menyimpang ihwal Al Qur’an: “Saya cenderung meyakini Al Qur’an pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi, tapi kemudian mengalami berbaga proses copy-editing oleh para sahabat, tabi’in, qurra’, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan.”
Lebih parah lagi, tokoh muda liberal Sumanto al Qurthubi pernah menulis buku berjudul “Lubang Hitam Agama”. Anak muda ini mengatakan, , jangan kaget, di surga nanti, kita akan bertemu dengan Mahatma Gandi yang Hindu, Bunda Theresa yang Katolik, dan Martin Luther King yang protes.
Jadi, bagi kaum liberal, agama itu seperti cashing handphone yang bisa diganti kapan saja. Jadi yang beda yang hanya aspek lahiriah saja. Jika orang Kristen beribadah ke gereja, umat islam ke masjid. Namun, ibadah yang mereka lakukan, hakekatnya sama. Prinsipnya, agama apapun mengajarkan untuk menebar kebaikan, kasih sayang, dan toleran.
Ulil Absar Abdalla yang kini masuk Partai Demokrat sebagai Ketua bidang kebijakan dan strategi menganggap semua agama benar. Kita tidak boleh fanatik, tidak ada kebenaran mutlak. Sedang Siti Musdah Mulia dalam sebuah wawancaranya pernah mengatakan, nikah itu bukan ibadah, tapi urusan sahwat saja.
Murtad Dianggap Biasa
Suatu ketika Artawijaya pernah berinteraksi dengan Ulil di suatu tempat.“Hei Ulil, jika anda ingin memperjuangkan kebenaran, beranikah anda bersumpah bahwa anda akan berjuang untuk Islam. Ulil malah cengengesan, tidak berani bersumpah. “
Dikatakan Artawijaya, yang pernah menulis untuk Voa-Islam dan sejumlah media Islam lainnya, Islam adalah yang benar. Islam juga mengajarkan toleransi dengan tidak mencaci maki agama lain. Islam melarang umat Islam untuk mencela tuhan-tuhan penganut agama lain. Lakum dinukum waliyadin. Islam punya batasan-batasan toleran, dalam bermuamalat umat Islam boleh bekerjasama, tapi bukan dala hal akidah.
Jika kelompok liberal betul-betul konsisten, kenapa tidak membuat wasiat saja kepada anggota keluarganya, jika ia mati kuburkan dengan cara dibakar seperti agama Hindu. Bukankah mereka bilang, bahwa semua agama sama. Persoalannya, mereka tidak mau, dan hanya mau menerima syariat yang enak-enak saja.
Apa yang dikampanyekan kelompok liberal, ungkap Arta, sesungguhnya bukan kebebasan beragama, tapi mengacak-acak agama. “Kita berharap aktivis Islam melakukan counter dan mengkampanyekan bahaya liberalisme di tengah masyarakat, khususnya genarasi muda Islam. Adanya gerakan #Indonesia Tanpa JIL atau #Indonesia Tanpa Liberal adalah hal yang positif. Gerakan ini setidaknya menghambat penyebaran pemikiran mereka. Jika ideologi komunisme saja dilarang di negeri ini, maka semestinya pemerintah Indonesia juga melarang ideologi atau pemikiran liberal dan pluralisme,’ jelas Arta. Desastian