SURABAYA (VoA-Islam)– Keprihatinan atas bahaya pemikiran sekularisme, pluralisme dan liberalisme, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur terdorong untuk meluncurkan buku berjudul “Menolak Liberalisme Islam: Catatan atas Berbagai Wacana dan Isu Kontemporer”.
Seperti dikabarkan InPas Online, pada 22 Mei tahun 2004 MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jawa Timur menyatakan sikap tegas, menolak dan mewaspadai penyebaran faham Islam Liberal. Setahun kemudian, MUI Pusat merespon. Pada Musyawarah Nasional (Munas) VII tahun 2005 MUI menerbitkan fatwa kesesatan faham Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (Sepilis).
Fatwa ini oleh kelompok Liberal direspon secara emosional. Bahkan mereka melakukan propaganda untuk menggoyang otoritas MUI. Di media massa mereka mengatakan bahwa MUI tidak toleran, menyulut tindak kekerasan atas nama agama. Bahkan eksistensinya dituduh produk Orde Baru. Tujuan besar mereka sebenarnya adalah kampanye ideologi anti-otoritas, ideologi khas kaum liberal.
Buku “Menolak Liberalisme Islam: Catatan atas Berbagai Wacana dan Isu Kontemporer” mengemas kritikan terhadap ideologi liberal secara sederhana tapi sarat argumentasi naqli dan aqli, untuk mengklarifikasi tuduhan dan penodaan agama yang dilakukan kalangan Islam Liberal.
Fatwa MUI, seperti ditulis Ainul, bukanlah keputusan yang gegabah. Tetapi merupakan produk kajian yang melibatkan tinjauan dari berbagai sudut pandang. Melibatkan para ahli dan pakar. Mekanisme penetapannya memiliki prosedur baku yang bisa disebut Standard operating procedure (SOP) yang mencakup metode istinbath al-ahkam (penggalian hukum), mekanisme rapat, format keputusan, serta pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Bahkan, MUI juga mendatangkan ahli, baik dari intern MUI maupun para pakar independen. Jadi, tidak ada sama sekali unsur politis, atau kepentingan kelompok.
Ainul Yaqin -Sekretaris MUI Jawa Timur- menulis buku ini dengan bahasa yang ringan dan menghadirkan isu secara tematik. Ainul, yang juga peneliti InPAS Surabaya, menulis buku untuk mengklarifikasi berbagai isu utama terkait fenomena liberalisasi, gagasan, strategi serta lontaran opininya, serta isu-isu yang berkaitan dengan ke-MUI-an.
Secara sistematis penulis memulai klarifikasi dari isu yang paling mendasar. Kerancuan dan asal-usul Islam Liberal diurai secara singkat dan bernas. Kata Islam dan Liberal tidak bisa disandingkan menjadi satu frasa kata. Sebab pengertian itu saling bertolak belakang. Islam berarti ketundukan dan keterkaitan terhadap apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berisi perangkat norma yang wajib ditaati oleh seorang Muslim. Sedangkan kata Liberal bermakna kebebasan tanpa adanya batasan. Maka ketika disifatkan kepada Islam, pengertiannya menjadi rancu.
Ciri khas kaum liberal yang bertentangan dengan Islam adalah ideologi relativisme, skeptisisme dan agnostisisme. Relativisme adalah keyakinan yang menganggap semua kebenaran adalah relatif dan subyektif. Tidak ada kebenaran mutlak. Skeptisisme adalah pandangan yang meragukan terhadap kebenaran. Setiap kebenaran agama, diragukan kevalidanya. Dan agnostisisme mengingkari adanya kebenaran. Ideologi yang terakhir ini, sangat radikal karena menggiring kepada ateisme. Sebab kebenaran Tuhan juga diingkari.
Ketiga ideologi ini menjadi metodologi memahami agama. Ilmu tafsir, hadits, fikih, akidah dan lain-lain dianalisis dengan tiga metodologi ini.Produk dari metodologi ini di antaranya yang dikritik oleh buku ini adalah paham pluralisme agama, inklusifisme, dan hermenutika.
Penyimpangan Anak Muda NU
Penyimpangan oknum anak muda NU yang liberal dikupas dengan lugas. Sebagai orang yang pernah nyantri di pesantren NU di Jombang, Ainul berkepentingan mengklarifikasi fenomena kader-kader NU yang hanyut dalam liberalisasi.
Di internal NU sendiri, pada muktamar NU di Boyolali, diusulkan agar kepengurusan NU bersama organisasi-organisasi di bawahnya dibebaskan dari pengaruh orang-orang yang berhaluan liberal. Walaupun penolakan ini pada praktiknya kurang efektif untuk mencegah masuknya orang-orang liberal dalam struktur kepengurusan NU.
Aktivis Liberal NU di antaranya melakukan pembelokan makna tawassuth, tawazzun dan tasamuh. Makna idiom-idiom ini digeser sebagai sikap netral dalam arti menolak terhadap upaya formalisasi syari’at Islam secara konstitusional. Formalisasi syari’at dianggap tidak netral atau ekstrim ke kanan (hal. 96).
Padahal sesungguhnya idiom itu merupakan konsep untuk mensifati teologi Asy’ariyah yang dianut NU yang merupakan konsep tengah-tengah antara rasionalisme qadariyah dan antropomorfisme jabariyah. Jadi, idiom itu digunakan dalam ilmu Kalam, untuk menjelaskan posisi Ahlus Sunnah. Tidak ada kaitannya dengan sikap netral menolak formalisasi syari’at Islam. Penggeseran makna ini dapat disebut penodaan konsepsi ajaran NU.
NU sendiri, dalam sejarah kelahirannya justru merupakan organisasi yang concern pada perjuangan penegakan syari’at Islam, baik secara substansial maupun secara formal (hal. 99). Keputusan bahtsul masail pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin pada 9 Juni 1936 M, keterlibatan KH. Wachid Hasyim dalam perumusan Piagam Jakarta dan pernyataan-pernyataan dukungan tokoh NU seperti Saifuddin Zuhri terhadap Piagam Jakarta menunjukkan bahwa NU mendukung formalisasi Undang-undang Islam ke dalam Undang-undang formal Negara. Adapun pernyataan-pernyataan aktivis Liberal hanyalah akal-akalan yang harus disikapi dengan kritis, bukan taken for garanted. (Desastian/Kholili Hasib).