JAKARTA (VoA-Islam)- Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitulah nasib Muslim Rohingya di Myanmar dan di sejumlah tempat pengungsian. Setelah dibunuh, diperkosa, rumah-rumah dan masjid mereka dibakar, para ulama ditangkap dan dihabisi, tidak diakui kewarganegaraannya, kini etnis minoritas ini kembali diserang dengan stigma buruk disertai pemutarbalikkan fakta, mulai dari pengaburan sejarah, memanipulasi angka korban, menyatakan tidak ada genocide di Myanmar hingga menyebut konflik komunal, bukan konflik agama.
Berikut ini adalah stigma yang sangat menyakitkan dari para diplomat Indonesia, tokoh lintas agama, dan tokoh liberal, terkait tragedi kemanusiaan yang menimpa muslim Rohingya di Myanmar.
Pertama, tuduhan atas Muslim Rohingya yang dianggap sebagai penduduk illegal dan disinyalir berhubungan dengan jaringan alqaeda. Dan kemungkinan etnis rohingya hendak mendirikan Negara berdasarkan syariat Islam. Kasus ini hampir serupa dengan Gerakan Aceh Merdeka di Indonesia.
Ada beberapa tulisan yang memojokkan Muslim Rohingya, seperti di lansir dari situs “Rohingya Terorists”. Diberitakan seperti ini: ada lebih dari 100 ras yang hidup di Myanmar. Tapi Rohingya bukan salah satu dari mereka. Selain itu, tidak pernah ada kata seperti Rohingya dalam sejarah Myanmar. Jadi kelompok mana rohingya itu? Mereka hanya bagian Bengali. Mereka dari Bangladesh. Jika seseorang meragukan itu, hal itu bisa dilakukan test DNA.
Kedua, ada upaya untuk mengaburkan fakta tentang kebenaran angka korban yang sesungguhnya terjadi. Perhatikan, pemutar balikkan fakta itu: Jumlah korban pembantaian Islam Rohingya tampaknya dilebih-lebihkan. Mereka mengutip berita yang tidak jelas dengan mengatakan, kerusuhan yang pecah pada Juni lalu di Rakhine, menyebabkan sekira 78 orang tewas.hanya 78 orang yang tewas. Padahal ada sekitar 4.000 warga Muslim Rohingya dilaporkan tewas dibantai. Media yang memberitakan apa adanya, kemudian dianggap provokator.
Ketiga, ada upaya mengaburkan sejarah. Misalnya terdapat artikel mengenai sejarah keberadaan muslim Rohingya seperti pada tulisan ini: “…Bengali menjadi etnis minoritas yang tinggal di Myanmar, memiliki latar belakang sejarah yang panjang. Bengali adalah Rohingya yang tinggal di Myanmar beribu tahun yang lalu dan mereka adalah imigran sementara dari Chittagong.”
Keempat, ada upaya untuk meredam umat Islam untuk tidak melakukan pembalasan terhadap pemeluk Budhan di Tanah Air. Juga, agar umat Islam tidak berpandangan, bahwa konflik ini bernuasakan agama. Maka tak heran bila para diplomat, termasuk presiden, menteri luar negeri, begitu juga dengan tokoh lintas agama dan liberal, mati-matian mengalihkan isu, bahwa konflik Rohingya hanya sebatas konflik lokal, komunal, bukan konflik agama.
Aneh, giliran non Islam yang dibantai, mereka menyebut sebagai bentuk pelanggaran berat dan bernuansakan SARA. Tapi giliran umat Islam yang dibantai, mereka menebar propaganda dan menggiring opini sesat, sekaligus meredam agar tidak ada pembalasan dari kaum muslimin. Sungguh licik! Desastian