TANGERANG (voa-islam.com) - Sudah lebih dari setahun insiden bom di Pondok Pesantren Umar bin Khattab (UBK) berlalu. Saat itu, Senin 11 Juli 2011, Ponpes UBK yang terletak di Desa Senalo, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat diguncang ledakan bom. Akibatnya ustadz Firdaus gugur.
Berita yang tersebar di media massa terhadap Ponpes UBK cenderung miring. Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Ponpes UBK tersebut, Kamis (9/8/2012) voa-islam.com menemui Mustaqim Abdullah (16), salah seorang saksi mata insiden di Ponpes UBK yang juga santri pesantren tersebut. Ia adalah adik dari ustadz Firdaus, asal Desa Oo, Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu, NTB yang meninggal dunia akibat ledakan bom di Ponpes UBK.
Saat ditemui, remaja mujahid ini sedang menjalankan masa tahanan dengan vonis 1 tahun penjara di Lapas Anak-anak Pria, Tangerang, Banten. Tak disangka, ketika selama ini masyarakat begitu dijejali stigma buruk atas pemberitaan Ponpes UBK, namun Mustaqim justru menguak karomah yang ia saksikan sendiri dengan mata kepalanya saat insiden bom Ponpes UBK terjadi.
Berikut ini adalah kisah menakjubkan tentang karomah mujahidin dari sosok Asy Syahid (insya Allah) ustadz Firdaus berdasarkan Mustaqim Abdullah:
Sebelum dia meninggal dunia ada pertanda dua burung hijau. Disaksikan seluruh anak-anak pesantren bahwa burung hijau itu memang indah, suaranya merdu. Ketika itu ada santri yang ingin menembak datang ustadz Firdaus; “jangan ditembak, mungkin itu sebuah karomah untuk saya.”
Dua hari sebelum ia meninggal dunia, sempat ia katakan kepada Rahmat Ibnu Umar (ustadz di Ponpes UBK kini ditahan di LP Tangerang); Kalau tidak ada orang yang berani mengorbankan mukanya untuk Islam cukup darah saya saja mengalir untuk Islam. Biarkanlah tulang saya beterbangan, akan aku jadikan benteng dari kaum Yahudi dan murtadin.
Di setiap shalatnya ia selalu menangis, rindu dengan syahid. Bahkan, memang terbukti beliau lukanya di muka seperti permintaannya.
Dan yang membuat dokter bingung darahnya orang mati ini masih mengalir terus, padahal sudah 4 hari meninggal dunia tapi darah masih mengalir seperti air. Darah itu pun harum seperti kasturi.
Disaksikan lagi, ternyata burung hijau itu datang lagi di kuburan, terbang dan di atas awan itu ada lafadz Allah.
Kronologis Gugurnya Ustadz Firdaus
Ustadz Firdaus menelpon saya supaya menjaga pondok, karena ada isu masyarakat mau menyerbu pondok karena menuduh Sya’ban yang membunuh polisi itu atas perintah pondok. Untuk kehati-hatian kita maka kita jaga pondok, wajar dalam Islam kan ada pembelaan diri.
Pondok ini tidak ada keterlibatan dengan Sya’ban, sebab Sya’ban ngakunya diperintah oleh Allah tidak ada yang lain. Tidak ada kaitannya dengan Jamaah Ansharut Tauhid, tidak ada kaitannya dengan pesantren Umar bin Khattab.
Sudah satu minggu santri berjaga, awalnya ustadz Abrori ingin memerintahkan agar para santri pulang ke rumah, tapi tidak jadi.
Saat ustadz Firdaus keluar dari masjid seperti ada perubahan di wajahnya. Saya katakan dalam hati saya; “Ya Allah kok kakak saya tampan benar hari ini, bercahaya mukanya.” Lalu dia masuk ke dalam suatu ruangan untuk membongkar bom, agar jangan sampai diaktifkan lagi karena takutnya banyak anak-anak kecil.
Lalu meledaklah bom, kita lari ke ruangan itu. Ustadz Firdaus terluka, lalu ustadz Firdaus dipindahkan ke sebuah kelas. Saya jaga dia, dengan lukanya di muka sebelah kanan. Terbukti dia tidak merasakan sakit, kecuali sedikit sebab dia masih sempat gerak-gerak biasa.
Kemudian saya lihat pada saat itu, waktu dia akan meninggal dia sempat katakan; Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar… Laa ilaha illallah wa anna muhammadarrasulullah… lalu dia tarik nafasnya.
Saya kira kakak saya itu tidur tapi saya pegang perutnya sudah tidak ada nafasnya, tangannya sudah dingin. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un… lalu saya kabarkan ustadz Abrori bahwa ustadz Firdaus sudah meninggal.
Di pesantren itu satu jenazah diinapkan satu malam. Dari malam itu saya tidak mau jauh dari kakak saya. Bahkan tidur itu saya peluk, sarungnya itu harum padahal tidak pernah pakai parfum salam sekali.
Kejadian itu hari Senin, 11 Juli 2011, kalau tidak salah sebelum Ashar. Bahkan menurut para santri yang berjaga-jaga harumnya itu sampai tercium ke lapangan, sampai shubuh juga begitu.
Paginya, Selasa 12 Juli 2012, waktu mau dikuburkan, saya ada di mobil bersama jasad ustadz Firdaus, tiba-tiba ketika beberapa kilo dari pondok pesantren kita dihadang Densus 88 lalu ditangkap.
Demikian kisah karomah tersebut diungkap Mustaqim. Sebagai tanda bahwa apa yang dikatakannya bukanlah cerita yang mengada-ada ia kemudian menutupnya dengan sumpah atas nama Allah. “Wallahi saya benar!” tegasnya. [El Raid]