JAKARTA (VoA-Islam) – Akar permasalahan peristiwa pembakaran rumah pemuka Syiah di Dusun Nangker Nang, Desa Karang Gayam, Kecaatan Omben dan Dusun Banyuarom, Desa Blu’uran, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang, adalah ajaran yang dibawa oleh Tajul Muluk dan ngototnya Tajul Muluk dalam menyebarkannya secara terang-terangan tanpa mematuhi rambu-rambu yang ditetapkan bersama oleh ulama, pemerintah, ormas dan dirinya sendiri.
Adapun berita tentang adanya konflik internal antara Tajul Muluk dan Roies al-Hukama, bukanlah merupakan akar masalah. Demikian disampaikan Akhmad Rofii Damyati, peneliti Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) yang melakukan riset gerakan Syiah di Sampang.
Akar masalah yang kedua adalah upaya lokalisasi isu oleh media massa melalui informasi dari Tajul Muluk, bahwa kasus itu hanya merupakan urusan internal keluarga, dan bukan urusan aqidah atau penyesatan dan penistaan agama. Namun, persoalan Syiah ini sudah bergulir lama sebelumnya dan pernah terjadi demo besar-besaran oleh masyarakat tahun 2006-2007. Hanya saja waktu itu masih bisa dikendalikan oleh ulama sehingga tak terjadi pengrusakan.
Pada peristiwa 2011 lalu, masyarakat yang merusak jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya dan tanpa ada pemberitahuan dahulu. Akibatnya, tak bisa dibendung lagi oleh ulama ataupun pemerintah.
MIUMI menekankan, informasi yang santer tentang adanya “Pembakaran Pesantren Syiah” kurang tepat. Menurut kenyataan yang ada, tidak ditemukan pesantren di lokasi kejadian. Yang ada hanya tempat mengaji. Karena Tajul Muluk adalah keturunan ulama, jadi tempat anak-anak mengaji di tempatnya diidentikkan dengan pesantren. Nama pesantrennya pun diberikan oleh Tajul Muluk setelah peristiwa pembakaran. Bahkan di dalam catatan Bakesbangpol Sampang, tidak terdapat nama pesantren tersebut.
Kasus Syiah di Sampang menunjukkan adanya sensitifitas yang sangat tinggi dari kalangan ulama, pemerintah dan ormas dalam mengantisipasi konflik horizontal di daerah Tajul Muluk, sehingga walaupun terjadi pembakaran namun tidak sampai jatuh korban jiwa.
Gerakan Syiah
Melalui taqiyyah, penyebaran Syiah di Madura disinyalir sudah melebar ke seluruh kabupaten di Madura. Tercatat semua kabupaten sudah ada perwakilan Syiahnya. Gerakan Syiah yang paling aktif di Madura adalah di Sampang dan Bangkalan dengan berpayung IJABI yang gerakannya di bawah tanah. IJABI Sampang tidak pernah melaporkan eksistensinya kepada pemerintah.
Kasus ini juga membuktikan, pada dasarnya, masyarakat yang mayoritas Sunni di Sampang tidak menerima kehadiran Syiah di sekitarnya karena bertentangan dengan ajaran dan tradisi mereka secara fundamental.
Sedangkan orang awam yang ikut ajaran Syiah ini terlanjut ikut karena beberapa factor, antara lain: factor charisma Tajul Muluk dan sesepuhnya, factor bantuan dana dan factor keawaman mereka tentang ajaran yang sebenarnya berbeda secara prinsip dengan Sunni yang selama ini menjadi ajaran turun temurun mereka.
Aliran Syiah yang dijalankan di Sampang adalah Syiah J’afariyah Itsna ‘Asyariyyah. Walau demikian, saat ini Syiah sudah tidak bisa dipilah-pilah lagi mana yang Ja’fariyah, Zaidiyyah, atau yang lainnya. Karena, walaupun kadar tasyayyu’nya rendah saat ini, pada tingkatan-tingkatannya sama-sama menerapkan penghujatan kepada para sahabat Nabi selain ahlul baik, bahkan melakukan pentakfiran kepada sesama muslim.
Maka, bila fatwa MUI yang dikeluarkan memutuskan sesaatnya ajaran Tajul, konsekuensinya adalah ajaran Syiah secara umum juga sesat. Jika Syiah dinyatakan sebagai ajaran sesat, nasibnya bisa berpotensi seperti Ahmadiyah yang dilarang menggunakan Islam sebagai nama ajarannya.
Rekomendasi MIUMI
Meskipun ini merupakan penelitian awal, namum data dan fakta menunjukkan ajaran Syiah yang disebarkan di lingkungan kaum Sunni (Ahlu Sunnah wal Jamaah) memiliki potensi konflik yang sangat besar. Sebab, ajaran Syiah secara fundamental menyerang ajaran-ajaran Sunni secara mendasar.
Kaum Sunni menerima Ijma’ Sahabat Nabi, dan sangat menghormati para sahabat Nabi yang utama, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan semua istri Nabi Muhammad Saw, termasuk Aisyah. Ahlu sunnah juga menerima al-Qur’an melalui jalur ijma’ sahabat Nabi. Jika para sahabat dicerca dan dicaci maki, tentu sangat berat dan panjang akibatnya.
Karena itu, kasus Syiah di Sampang perlu menjadi catatan penting, bagi umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya, untuk menyadari betapa bahaya dan riskannya perkembangan ajaran Syiah di Indonesia, yang merupakan sebuah negeri Muslim Sunni terbesar di dunia. Jangan sampai potensi negeri Muslim yang besar ini terganggu oleh konflik-konflik yang tidak perlu.
Jika kaum Syiah memiliki niat untuk mengembangkan ajaran-ajarannya, sebaiknya itu dilakukan di wilayah-wilayah non-Sunni atau di negeri-negeri non-Muslim yang masih terbuka luas peluangnya menerima dakwah kaum Syiah.
Semoga, kaum Muslimin, para ualama, dan pemerintah RI memahami masalah Ahlu Sunnah dan Syiah dengan baik, dan menjadikan kasus Syiah di Sampang sebagai pelajaran yang berharga untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Desastian