DEPOK (VoA-Islam) - Front Pembela Islam (FPI) Kota Depok menolak mentah-mentah usulan sertifikasi ulama yang diwacanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sebagai upaya pencegahan bekembangnya gerakan terorisme di Indonesia.
Wacana tersebut langsung mendapat tanggapan keras dari Ketua FPI Kota Depok Habib Idrus Al Gadhri. Menurutnya, usulan tersebut dilontarkan oleh pihak yang tak mengerti soal Islam, dan merupakan pelecehan terhadap ulama. Idrus menilai, kelayakan seorang ulama hanya bisa ditentukan oleh Allah.
“Jadi, sebenarnya sudah ditunjukkan mengapa teroris ini saya anggap rekayasa, masa pakai ada sertifikasi ulama? Allah sudah menunjukkan siapa di belakang mereka, masa ulama dikasih sertifikat? Ulama itu nilainya dari Allah, itu ide orang gila,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (11/9/2012).
Ulama, lanjut Idrus, bukan lah sebuah jabatan yang diberikan oleh pemerintah. Idrus menjamin, akan banyak ormas Islam yang menentang penerapan program sertifikasi ulama.“Ormas Islam menolak, MUI juga sudah menolak. Indikasi ini sudah menunjukkan untuk memojokkan Umat Islam,” tuturnya.
BNPT sempat mengeluarkan wacana mengenai sertifikasi ulama. Menurut BNPT, ini dilakukan untuk mencegah aksi tindakan radikalisme yang kerap dikaitkan dengan pesantren.
Usulan untuk melakukan sertifikasi seperti kembali ke zaman Orde Baru yang dipimpin Soeharto untuk mengontrol dan mengawasi para ulama.Dulu pernah dilakukan di era Soeharto ketika ulama harus memiliki surat ijin mubaligh. Tapi dengan sertifikasi ulama, siapa yang bisa mengontrol karena tidak ada definisi yang jelas.
Gubernur Jabar Menolak
Sementara itu, hal yang senada juga dikatakan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang menilai wacana sertifikasi ulama yang diusulkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merupakan pelecehan terhadap keilmuan para ulama.
Pasalnya, kata dia, ulama dan pesantren sudah terlihat kiprahnya baik dalam pendidikan ataupun kemasyarakat sehingga tidak semestinya menjadi proyek deradikalisasi.“Saya menolak sertifikasi ulama. Itu pelecehan kepada ulama,” katanya menjawab pertanyaan wartawan di Ciamis Jawa Barat (11/9).
Dia mengatakan pesantren yang selama ini dikenal, justeru banyak mengajarkan hal-hal yang positif seperti kedamaian. Sehingga tidak ada alasan untuk merevisi atau meninjau ulang model pendidikan di pesantren.
“Apanya yang harus ditinjau ulang. Pendidikan pesantren sudah bagus. Soal terorisme yang diidentikan dengan pesantren itu sama tidak benar,” katanya.
Terkait ada lulusan pesantren yang terlibat dalam aksi terorisme, katanya, itu bukan akibat pengajarannya. Itu hanya sebagian kecil dan tidak berlaku bagi pengajaran di pondok pesantren secara umum.
“Geng motor saja ada 700 orang yang ditangkap, apakah itu mereka teroris. Kan tidak. Makanya, pesantren tidak identik dengan terorisme. Kami juga minta kepada media masa agar jangan membuat stigma terorisme untuk pesantren,” kata dia.
Sekretaris Umum Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) Kabupaten Ciamis Fadliyani Aini Syamsi mengimbau kalangan pesantren menunjukkan bahwa pesantren bukanlah sarang teroris. “Kita tunjukkan pada dunia, pesantren bukanlah sarang teroris,” tegasnya. (Desastian)