View Full Version
Rabu, 26 Sep 2012

Dikendalikan Non Muslim, Media Group Mengidap Bias Anti Islam

JAKARTA (voa-islam.com) – Seperti diberitakan sebelumnya, menurut Forum Silaturahmi Mantan (FSM) LDK Jabodetabek, pernyataan MetroTV itu meremehkan substansi tayangan mereka yang berdampak serius terhadap kegiatan kerohanian sekolah.

‘’Seolah-olah, kesalahan MetroTV sekadar kesalahan teknis yaitu tidak menyebutkan sumber infografik. Padahal, melalui tayangan itu MetroTV telah ikut memproduksi stigma negatif terhadap kegiatan kerohanian sekolah,’’ jelas juru bicara FSM LDK Jabodetabek, John Bon Bowi. (Baca: Berita Metro TV Produksi Stigma Negatif Terhadap Kegiatan Rohis)

Selain itu, John menegaskan, berdasarkan pengakuan sejumlah mantan pekerja profesional di Media Grup, lembaga penyiaran publik MetroTV dan koran Media Indonesia (MI) mengidap bias anti-Islam.

‘’Salah satu anggota FSM LDK pernah menjadi produser siaran berita di MetroTV. Karena melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemberitaan yang diskriminatif terhadap Islam, ia dibuat tidak nyaman sampai akhirnya memilih mengundurkan diri,’’ ungkap John.

Ia juga pernah mendapat pengakuan dari orang penting di Yayasan Kick Andy, yang membenarkan adanya semangat diskriminatif terhadap Islam.

...Kebetulan mereka non-muslim dan pengendali Media Grup. Para petinggi inilah yang punya peran penting mengakses berita.

Melalui akun twitter-nya, @eae18, mantan Redaktur MI Edy Effendi mengungkapkan hal itu. Ia menyebutkan, pada tahun 2000-an ketika ia masih bekerja di MI, ada empat sekawan redaksi MI yang memainkan isu agama. Mereka adalah: Andy F Noya, Saur Hutabarat, Elman Saragih, dan Laurens Tato.

‘’Kebetulan mereka non-muslim dan pengendali Media Grup. Para petinggi inilah yang punya peran penting mengakses berita. Surya Paloh tak tahu menahu, bahkan ketika beberapa kali MI kena somasi,’’ tutur Edy yang pernah mendapat beasiswa menulis ke Amerika.

Diskriminasi berdasarkan agama, lanjut Edy, meliputi pola rekruitmen karyawan sejak reporter hingga petinggi, dan kebijakan pemberitaan.

‘’Jika ada 6 reporter yang diterima, komposisinya: 2 Protestan, 2 Katolik, 2 Islam. Ini fakta, bukan fiksi. Desk redaksi yang strategis pun ditempati non-muslim, yaitu Polkam, Metropolitan, dan Mingguan,’’ papar Edy.

Setelah protes, Edy yang pernah meraih predikat Penulis Editorial Terbaik Gelombang II, dimasukkan dalam Tim Seleksi Reporter. Tapi, ‘’ujung-ujungnya di HRD (bagian personalia –Red) dijegal juga.’’

Di pemberitaan MI, editorial yang ditulis Laurens Tato menyatakan, umat Islam Indonesia tak perlu membela Palestina. Ia juga melarang pemajangan foto demo PKS di halaman 1. ‘’Pernah PKS demo besar-besaran memrotes Bill Clinton ke Indonesia. Pas rapat redaksi, Yohanes Widad, Asredpel, meminta foto jangan dipasang di hal 1,’’ ungkap Edy.

‘’Kenapa tak tegas saja, Media Grup anti-Islam,’’ tandas Edy Effendi

Meski kemudian Saur Hutabarat dan Andy F Noya tak aktif lagi di MI, namun mereka masih turut bermain di balik layar. ‘’Kenapa tak tegas saja, Media Grup anti-Islam,’’ tandas Edy Effendi yang akhirnya memilih keluar dari MI karena tak tahan lagi.

Jalan itu pula yang akhirnya diambil Sandrina Malakiano, setelah statusnya dibiarkan terkatung-katung bebrulan-bulan oleh manajemen MetroTV lantaran dia berjilbab.

Tanpa nada ‘’merengek-rengek’’, mantan penyiar utama MetroTV itu menuliskan pengalaman pahitnya bekerja di MetroTV.

‘’Segera setelah keputusan itu saya buat, sesuai dugaan, ujian pertama datang dari tempat saya bekerja, MetroTV,’’ tulis Sandrina di akun FB-nya, yang memutuskan untuk berjilbab sejak pulang berhaji di awal 2006.

Lebih lanjut istri Eep Saefulloh Fatah itu menuturkan:

‘’Sekalipun tanpa dilandasi aturan tertulis, saya tidak diperkenankan untuk siaran karena berjilbab. Pimpinan MetroTV sebetulnya sudah mengijinkan saya siaran dengan jilbab asalkan di luar studio, setelah berbulan-bulan saya memperjuangkan izinnya. Tapi, mereka yang mengelola langsung beragam tayangan di MetroTV menghambat saya di tingkat yang lebih operasional. Akhirnya, setelah enam bulan saya berjuang, bernegosiasi, dan mengajak diskusi panjang sejumlah orang dalam jajaran pimpinan level atas dan tengah di Metro TV, saya merasa pintu memang sudah ditutup.’’

Sebagai penyiar utama, Sandrina mengakui mendapatkan gaji yang tinggi. Untuk menghindari fitnah sebagai orang yang makan gaji buta, akhirnya ia memutuskan untuk cuti di luar tanggungan selama proses negosiasi berlangsung. Maka, selama enam bulan, ia tak memperoleh penghasilan, tapi dengan status yang tetap terikat pada institusi MetroTV.

Yang membuatnya terkejut adalah komentar sinis atas jilbabnya dari Profesor R William Liddle dan para pengidap "Islam Liberal’’.

‘’Saya terkejut mendengar komentar-komentar mereka tentang keputusan saya berjilbab. Dengan nada sedikit melecehkan, mereka memberikan sejumlah komentar buruk, sambil seolah-olah membenarkan keputusan MetroTV untuk melarang saya siaran karena berjilbab. Salah satu komentar mereka yang masih lekat dalam ingatan saya adalah ‘Kamu tersesat. Semoga segera kembali ke jalan yang benar’.’’

Sandrina sungguh terkejut, karena sikap mereka bertentangan secara diametral dengan gagasan-gagasan yang konon mereka perjuangkan, yaitu pembebasan manusia dan penghargaan hak-hak dasar setiap orang di tengah kemajemukan.

‘’Bagaimana mungkin mereka tak faham bahwa berjilbab adalah hak yang dimiliki oleh setiap perempuan yang memutuskan memakainya? Bagaimana mereka tak mengerti bahwa jika sebuah stasiun TV membolehkan perempuan berpakaian minim untuk tampil atas alasan hak asasi, mereka juga semestinya membolehkan seorang perempuan berjilbab untuk memperoleh hak setara? Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran bahwa dengan kepala yang ditutupi jilbab maka kecerdasan seorang perempuan langsung meredup dan otaknya mengkeret mengecil?’’ gugat Sandrina.

Setelah berlama-lama dalam posisi yang tak jelas dan tak melihat ada sinar di ujung lorong yang gelap, akhirnya Sandrina mengundurkan diri dari MetroTV sejak Mei 2006.

‘’Pengunduran diri ini adalah sebuah keputusan besar yang mesti saya buat. Saya amat mencintai pekerjaan saya sebagai reporter dan presenter berita serta kemudian sebagai anchor di televisi. Saya sudah menggeluti pekerjaan yang amat saya cintai ini sejak di TVRI Denpasar, ANTV, sebagai freelance untuk sejumlah jaringan TV internasional, TVRI Pusat, dan kemudian Metro TV selama 15 tahun, ketika saya kehilangan pekerjaan itu. Maka, ini adalah sebuah musibah besar bagi saya,’’ tuturnya.

Dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan memberi yang terbaik dan bahwa dunia tak selebar daun MetroTV, Sandrina kukuh dengan keputusannya. Dan ia membuktikan, di balik musibah itu, dirinya mendapat berkah dari-Nya. [Nurbowo]


latestnews

View Full Version