View Full Version
Selasa, 09 Oct 2012

MER-C : Konflik di Myanmar Belum Menjadi Konflik Agama

JAKARTA (VoA-Islam) -  Dalam pengamatan dan temuan Tim MER-C di lapangan, terutama saat mengunjungi kamp-kam pengungsian, konflik Myanmar terjadi antara etnis Rakhine yang beragama Budha dann etnis Rohingya yang beragama Islam. Akar permasalahan belum jelas, mengingat ada dua informasi yang berbeda (versi pemerintah Myanmar dan versi masyarakat Rohingya).

“Namun, kami melihat konflik ini belum menjadi konflik agama, karena di Yangon, antara umat Budha dan umat Islam masih berdampingan. Namun demikian, kami melihat konflik ini bisa berpotensi meluas, apabila diprovokasi oleh pihak lain, seperti demo para biksu di Mandalay, atau sikap pemerintah Myanmar yang menganggap etnis Rohingya bukan bagian dari warga negara (stateless),” kata dr. Joserizal Jurnalis, Sp.OT, aktivis kemanusiaan dari MER-C.

MER-C menjelaskan, konflik Myanmar terjadi di beberapa daerah di Rakhine State, yaitu di Sitwee, Minbya, Maungdwe, dan Kyauktaw. Perlu diketahui, Myanmar terdiri dari 14 negara bagian (state) atau provinsi. Rakhine State merupakan salah satu provinsi di barat Myanmar yang berbatasan langsung dengan Bangladesh, ibukotanya terletak di Sitwee (Akyab).

“Di Sitwee, kami melihat beberapa lokasi kerusakan, sisa puing-puing rumah yang dibakar, namun kami hanya bisa mengunjungi Sitwee. Boleh dibilang, situasi di Sitwee masih sangat sensitif antara kedua belah pihak, dan masih terasa penuh rasa curiga, terlebih terhadap orang asing yang memberikan bantuan,”ungkap dr. Zakya yahya, SpOk, salah satu tim medis MER-C  yang ikut melaksanakan misi kemanusiaan di Myanmar selama satu minggu.

Kecurigaan itu bisa dirasakan, ketika Militer Myanmar membatasi ruang gerak bantuan kemanusiaan. Dengan alasan keamanan, mereka mengawal setiap bantuan kemanusiaan yang masuk. “Yang jelas, tidak semua organisasi kemanusiaan yang diperbolehkan, bahkan sangat besar penolakan masyarakat terhadap bantuan UN (PBB). Kami membaca di surat kabar lokal tentang dokter UN yang ditahan,” tandas Zakya.  

Berdasarkan hasil temuan Tim MER-C di lapangan, ada beberapa potensi yang memicu konflik di dalam memberikan bantuan di  Myanmar, yaitu:

Pertama, ketidak-netralan pihak pemerintah dan Myanmar Red Cross dalam memberikan bantuan kedua belah pihak. Hal ini terjadi karena seluruh aparat dan Myanmar Red Cross beragama Budha, sehingga mereka juga takut bila masuk ke kamp pengungsian Rohingya. Akibatnya, pengungsi Rohingya lebih terabaikan, terutama dalam pelayanan kesehatan. “Ketika kami tidak di kamp Rohingya tampak beberapa pasien tergelatak sakit tanpa perawatan,” kata dr. Tongo Meaty menambahkan.

Kedua, kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat Myanmar dengan pemerintah daerah Rakhine State. Hal ini terbukti, walaupun pemerintah pusat Myanmar menginstruksikan harus membantu kedua belah pihak, namun tetap saja pemerintah daerah sulit melaksanakan hal tersebut. Di lapangan MER-C sempat tidak diizinkan masuk ke kamp Rohingya.

Ketiga, usaha untuk membangun shelter atau perumahan dengan memindahkan lokasi juga merupakan hal yang sensitive dan dapat memicu konflik baru, karena masyarakat tidak mau meninggalkan tanah leluhur mereka yang sudah mereka diami ratusan tahun. Desastian


latestnews

View Full Version