View Full Version
Rabu, 17 Oct 2012

Media Bisa Menjadikan Cacing Jadi Naga, atau Naga Jadi Cacing

Jakarta (VoA-Islam) – Betapa kuatnya peran media dalam menggiring opini publik di  tengah masyarakat. Sehingga, dengan perannya, media bisa menjadikan naga jadi cacing, atau cacing jadi naga.

Seorang Novel Baswedan yang berpangkat kompol hanyalah cacing dibanding atasannya yang jenderal. Tapi karena media memblow up, cacing itu kemudian menjadi naga, dan mendapat banyak dukungan dari LSM, tokoh Islam, mahasiswa, dan masyarakat luas. Ini menunjukkan, siapa yang memenangkan perang informasi, dia mendapat dukungan publik.

Demikian dikatakan Dirut Perum LKBN Antara Saiful Hadi dalam Diskusi Publik "Media dan Pembentukan Watak Pemimpin Bangsa" yang diadakan oleh Media Center PP Muhammadiyah di sekretariat Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Selasa (16/10). Hadir sebagai pembicara Saiful Hadi (Dirut Perum LKBN Antara), Iwan Piliang (Praktisi Media Sosial), dan Prof.Dr Dadang Kahmad (PP Muhammad Muhammadiyah).

“Sebelumnya publik tidak mengenal siapa itu Novel Baswedan. Tapi ketika diblow up oleh media, ia tiba-tiba menjadi hero. Itu karena ia memenangi opini publik, sehingga seorang Novel Baswedan bisa mengalahkan jenderal-jenderal di kepolisian. Bahkan, presidan harus tunduk mengikuti opini rakyat. Bukti, betapa kuatnya opini itu, sehingga media suatu ketika bisa menjatuhkan seseorang,” ujarnya.

Dikatakan Saiful Hadi, media seperti koran, radio, TV, dan jejaring sosial seperti facebook dan twitter, sangat efektif dalam menggiring opini publik di masyarakat.  Karena siapa yang menguasai media, dia menguasai opini publik. Kita bisa lihat, sebelum jadi presiden, SBY dibesarkan oleh media, sehingga muncul istilah tebar pesona ketika itu.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah media terkooptasi oleh para politisi, atau para politisi terkooptasi media? “Yang jelas, siapa yang menguasai opini publik dia memenangkan perang nformasi.

Sebagai contoh, ketika ramai diberitakan Polisi VS KPK, kita bisa melihat, polisi dikalahkan media dengan opininya yang diciptakannya. Sehinggga informasi itu mempengaruhi SBY dengan mengatakan bahwa polisi salah, karena telah mengepung kantor KPK untuk mengejar Novel Baswedan. Maka babak belurlah Polri dengan informasi yang diberitakan media,” kata Saiful. Termasuk bagaimana media berhasil memenangkan Jokowi-Ahok dalam pemilukada di Jakarta.

Perang Informasi

Lebih jauh Saiful mengilustrasikan, ketika tokoh lintas agama membuat statement negara ini gagal, harus diakui istilah ini cukup membuat pemimpin di negeri ini terkejut.

Yang menarik, pemerintah mencounter dan membalas istilah negara gagal dengan pernyataan sebaiknya para tokoh lintas agama lebih fokus dan memperhatikan umatnya, jangan menjadi “gagak hitam”. Ini yang namanya perang informasi.

“Dari perang opini tersebut, sudah pasti yang senang adalah media, karena ada sesuatu yang diberitakan. Tapi, sebetulnya yang kasiyan adalah rakyat. Karena bagi rakyat, mau negara gagal kek, gagak hitam kek, yang penting sembako tersedia dan terjangkau,” ujar wartawan senior itu.

Tak dipungkiri, bahwa kini media sebagian besar dimiliki oleh kelompok oposisi. Metro TV misalnya dimiliki oleh “Pak Jenggot” Surya Paloh yang dikatakan narsis ketika menyuarakan Nasdem, partainya yang baru.

Begitu juga  TV One dimiliki oleh Pimpinan Partai Golkar Aburizal Bakri yang juga pengusaha. Tak heran, jika TV One tidak pernah memberitakan kasus lumpur Lapindo. Jika di masa Orba, TVRI dan RRI menjadi corong pemerintah, sekarang agak susah dan tidak bisa diandalkan.

 “Jadi kita harus tahu dulu, media itu milik siapa. Kompas dan Tempo siapa yang punya sehingga sangat mempengaruhi kebijakan redaksinya,” tandas Saiful.

Begitu kuatnya peran media, jangan heran jika rezim pemerintahan yang kuat sekalipun bisa dijatuhkan oleh media. Sejarah mencatat, Presiden AS Nixon jatuh karena wartawan.

Begitu juga Presiden Filipina Ekstrada yang turun karena pemberitaan wartawan yang membongkar kasus korupsi dan kegemarannya berjudi. Tak terkecuali Presiden Indonesia, seperti Gus Dur yang jatuh karena tekanan media.

Ketika ditanya, apakah media mendorong demokrasi atau tidak? Menurut Saiful, jawabannya bisa iya bisa tidak. Buktinya, setiap kali diadakan Pilkada, media dibeli  oleh calon-calon legislative, baik di tingkat daerah maupun pusat. “Kenyataannya, media tak bisa hidup tanpa dana.

Ketika pintu reformasi dibuka, tidak ada lagi surat izin penerbitan, sehingga banyak bermunculan Koran, majalah, dan portal baru. Karena keterbatasan dana, baru 3-6 bulan saja, media itu kedodoran, lalu gulung tikar.”

Sekarang ini jadi wartawan itu tak mudah, harus melalui uji kompetensi. Tapi kini banyak juga yang ngaku-ngaku wartawan. Karena itu, kita harus tahu, mana media yang benar-benar dan mana media yang abal-abal, atau kita mengenal istilah wartawan bodrex.

Kita juga mempersoalkan, apakah infotaiment itu produk jurnalistik atau bukan. Juga apakah media itu tunduk pada pemilik modal atau tidak? Jawabannya, bisa iya dan tidak.Di era demokrasi dan kebebasan, para pemilik modal, yang notabene para kapitalis Yahudi, sangat mengendalikan media, dan mampu merekayasa sebuah perubahan yang luas, termasuk merekayasa siapa tokoh yang harus dimenangkan. 

Karena para pemilik modal dibelakang media itu para Yahudi, pasti setiap perubahan yang direkayasa itu, dan yang dimunculkan tokoh-tokoh yang sesuai dengan selera para pemilik modal yang sangat berkepentingan memunculkan tokoh yang pro kepada pemilik modal, yang notabene Yahudi. Maka yang akan muncul pemimpin di dunia Islam, pasti yang dekat para pemilik modal Yahudi. Desastian

 

 


latestnews

View Full Version