JAKARTA (VoA-Islam) – Beberapa waktu lalu (11/4/2012) Rancangan Undang-undang (RUU) Penanganan Konflik Sosial (PKS) telah disahkan DPR RI menjadi undang-undang dalam sidang paripurna DPR RI, Rabu (11/4/2012). Dalam UU ini, TNI dilibatkan dalam penanganan konflik yang terjadi di Tana Air. Meski, sejumlah LSM menyatakan penolakan nya atas pelibatan TNI tersebut. Dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran HAM seperti di masa orde baru.
Koalisi Masyarakat Sipil (meliputi Imparsial, Kontras, IDSPS, Elsam, HRWG, Infid, LBH Masyarakat, ICW, Lespersi, YLBHI, RIDEP Institute, LBH Jakarta, Walhi, KPA) menilai, UU PKS potensial menimbulkan persoalan baru secara hukum, politik, dan sosial. Pengesahan UU ini adalah langkah mundur bagi proses demokrasi dan menimbulkan masalah baru dalam tatakelola sektor keamanan.
KontraS mengajak kepada seluruh elemen masyarakat sipil untuk segera merespons dan melakukan konsolidasi sipil dalam upaya uji materiil Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial. Bagi Kontras, UU PKS hanya menguntungkan segelintir elite politik saja.
Menurut LSM yang pernah dipimpin Munir ini, penanganan konflik dengan pendekatan keamanan terbukti gagal mengurai dan menyelesaikan konflik di berbagai wilayah. UU PKS justru meletakkan pendekatan keamanan sebagai yang utama. Pendekatan ini jelas sangat rentan terhadap pelanggaran HAM dan demokrasi.
Seperti diketahui, dalam Pasal 33 disebutkan Gubernur/Bupati/Walikota dapat meminta bantuan penggunaan TNI kepada pemerintah ketika status keadaan konflik. Permintaan itu atas pertimbangan Forum Koordinasi Pimpinan Provinsi/Kabupaten/Kota.
Libatkan TNI Efektifkah?
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin yang mewakili pemerintah mengatakan, TNI tetap dilibatkan dalam penanganan konflik karena hal itu juga merupakan tugas pokok TNI. Selain itu, pelibatan TNI untuk penguatan Polri dalam rangka menciptakan kondisi yang aman dan tertib.
Amir menambahkan, dalam pengerahan TNI, Presiden akan terlebih dulu berkonsultasi dengan pimpinan DPR. "TNI diharapkan dapat membantu Polri untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat sekaligus memulihkan kondisi keamanan negara yang terganggu akibat konflik sosial," kata Amir.
Dalam UU itu, juga telah dihapus klausul yang mengatur pelibatan masyarakat internasional ketika penyelesaian pascakonflik. Alasannya, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.
Berbeda dengan sejumlah LSM, Anggota Komisi III DPR RI, Aboe Bakar Al-Habsy justru menyarankan agar pemerintah menggunakan UU PKS untuk menangani konflik sosial di Tanah Air. Ia memberi contoh, konflik yang terjadi di Kalianda, Lampung Selatan bisa diantisipasi dan diatasi dengan menggunakan UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. "Sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dari UU tersebut, padahal itu sangat dibutuhkan," kata Aboe Bakar kepada wartawan.
PP tersebut, kata politisi Partai Keadilan Sejahtera itu, seharusnya menjadi prioritas bagi pemerintah karena banyak konflik yang terjadi di berbagai daerah. "Dengan adanya PP berarti UU tersebut dapat dilaksanakan, pemerintah pusat ataupun daerah dapat mengeksekusinya dengan baik. Termasuk mekanisme komunikasi dan koordinasi dengan Polri," kata Aboe Bakar. Desastian/dbs