JAKARTA (VoA-Islam) – Tanpa resolusi jihad tidak akan pernah ada peristiwa dahsyat 10 November 1945 di Surabaya. Sangat disayangkan, fakta sejarah mengenai resolusi jihad tidak pernah disampaikan secara utuh dalam buku-buku pelajaran di sekolah maupun buku sejarah.
Menurut Ketua Umum DPN Gemasaba Ghozali Munir, seperti diberitakan Media Indonesia.com, Senin (12/11), Hizbullah dan Sabilillah adalah laskar rakyat paling kuat yang pernah ada di Indonesia. Bukti perjuangan mereka, lanjutnya, ada di museum di Belanda. “Kita mendesak pemerintah agar fakta sejarah resolusi jihad segera dimasukkan dalam kurikulum mata pelajaran di semua sekolah dan perguruan tinggi agar tidak terjadi penyembunyian dan penghianatan fakta sejarah para pahlawan dan syuhada yang telah gugur membela kemerdakaan negeri ini,” tegasnya.
Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gemasaba) adalah Organisasi sayap kemahasiswaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada peringatan Hari Pahlawan yang dipusatkan di Wisma Syahida kampus pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Gemasaba mengundang Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj untuk memberikan kuliah umum tentang fakta sejarah resolusi jihad yang menjadi cikal bakal peristiwa 10 November 1945.
Ketua Fraksi PKB DPR RI yang juga Ketua Dewan Pembina Gemasaba Marwan Jafar menyatakan bahwa peringatan Hari Pahlawan dan fakta mengenai resolusi jihad telah mengalami distorsi sejarah. “Resolusi jihad yang menjadi cikal bakal peristiwa 10 November 1945 di Surabaya harus disampaikan ke generasi muda agar mereka bisa mengetahui fakta sejarah yang sebenarnya dan digunakan sebagai teladan anak cucu kita di masa depan," kata Marwan.
Menurut Marwan, berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa dilepaskan dari perjuangan dahsyat dan peran besar para ulama dan kaum santri. “Namun sangat disayangkan kenapa sejarah peran kaum santri dalam melawan penjajah tidak banyak diketahui generasi muda bangsa karena sekolah tidak pernah mengajarkannya secara utuh” kata Marwan.
Berdasarkan sejarah, Laskar Hizbullah berada di bawah komando spiritual KH Hasyim Asy'ari dan secara militer dipimpin oleh KH Zainul Arifin. Sementara laskar Sabilillah dipimpin oleh KH Masykur. Menurut hasil penelitian Agus Sunyoto, dari enam puluh bataliyon tentara Pembela Tanah Air, hampir separuhnya dipimpin oleh komandan yang juga kiai. (desas/MI)