JAKARTA (voa-islam.com) - Kita tentu masih ingat peristiwa pembunuhan dan penangkapan oleh Densus 88 terhadap ratusan mujahidin yang mengikuti i’dad atau pelatihan militer di pegunungan Jalin Jantho, Aceh pada Februari 2010 silam.
Berdasarkan pengakuan para mujahidin sendiri, ternyata maksud dan tujuan yang sebenarnya dari diadakannya Tadrib 'Askary (Pelatihan Militer) tersebut sejak awal adalah semata-mata sebagai persiapan untuk menolong kaum muslimin yang tertindas dan terjajah dengan keji di berbagai belahan bumi Islam dan kaum muslimin, terutama bumi suci Palestina.
Pertengahan November 2012 kemarin situasi di Gaza sempat kembali memanas setelah Israel melakukan serangan udara.
Umat Islam di Indonesia tentu tak mau tinggal diam, diantara mereka ada yang memiliki ghirah (semangat) tinggi sehingga berniat menjadi relawan dan berangkat berjihad menolong saudaranya di Palestina.
Namun, berbagai kekhawatiran muncul lantaran pemerintah negeri ini yang sama sekali tak mau mengirimkan TNI ke Gaza justru malah menangkapi para mujahidin yang berniat jihad ke Palestina saat melaksanakan i’dad seperti di Aceh beberapa tahun lalu.
...Itu kan sistem yang keliru, relawan kan kok dibilang teroris. Orang yang berjuang membela umat Islam, memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan dari penindasan itu tidak bisa dibilang teroris
Melihat fenomena tersebut, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto menyatakan bahwa sistem negeri inilah yang keliru dengan menangkapi para relawan.
“Itu kan sistem yang keliru, relawan kan kok dibilang teroris. Orang yang berjuang membela umat Islam, memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan dari penindasan itu tidak bisa dibilang teroris, ini yang salah,” kata Tyasno Sudarto usai menjadi pembicara dalam Halaqoh Islam dan Peradaban di Wisma Antara, Kamis (22/11/2012).
Tyasno mengungkapkan jika pelatihan militer tersebut dikatakan sebagai terorisme lantas bagaimana dengan Pramuka?
“Itu keliru, tidak bisa semua itu kemudian dibilang teroris. Oke, pelatihan militer itu kan harus dilaporkan, harus terkoordinir oleh TNI atau polisi misalnya, kemudian mereka mengadakan latihan tentara. Begitu ketahuan kan harusnya diinterogasi dulu, kamu ini latihan tentara untuk apa? Jangan kemudian orang melakukan latihan militer terus dibilang teroris, terus bagaimana dengan pramuka?” jelas pria kelahiran Magelang 14 November 1948 itu.
...Jangan kemudian orang melakukan latihan militer terus dibilang teroris, terus bagaimana dengan pramuka?
Ia menilai jika stigma teroris itu kadang digunakan pemerintah untuk mencari proyek.
“Stigma teroris ini kadang-kadang dipakai oleh pemerintah atau Polri ini untuk mencari proyek. Terutama karena sistem ini sudah lepas dari sistem Islam menjadi sistem kapitalis dan sekuler maka musuhnya menjadi umat Islam,” ungkap Pimpinan Keluarga Besar Marhaenisme tersebut.
Menurutnya, TNI justru seharusnya melatih para pemuda dan rakyat sesuai undang-undang yang menganut prinsip pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Hankamrata).
“TNI yang benar itu harusnya mendidik pemuda-pemuda untuk menjadi cadangan kekuatan. Karena undang-undang Dasar kita mengatakan bahwa pertahanan dan keamanan ini menjadi kewajiban seluruh warga negara, TNI itu menjadi kekuatan ini. Kekuatan inti ini melatih kekuatan rakyat untuk menjadi agen-agen pertahanan dan keamanan, prinsipnya pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Hankam Rata),” tambah mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI itu. [Ahmed Widad]