JAKARTA (VoA-Islam) – Ada tiga yang harus diperhatikan wartawan Indonesia, yakni: jangan langgar martabat dan norma agama, jangan langgar rasa susila masyarakat, dan tetap menghormati asas praduga tak bersalah.
Demikian dikatakan Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tarman Azzam dalam Workshop “Peran Media Komunitas dalam Mendukung Persatuan dan Kesatuan Bangsa” di Kantor Menko Polhukam, Jl Medan Merdeka Barat, Selasa kemarin (27/11).
Acara dibuka dan diikuti oleh Asdep 1/VII Koordinasi Media Massa Brigjen TNI Drs Harsanto Adi S, MM. Workshop diikuti sekitar 30 perwakilan media komunitas dari berbagai agama. Selain itu juga hadir sejumlah perwira tinggi dan menengah dari Mabes TNI, Mabes Polri dan tiga angkatan TNI.
Tarman Azzam mengatakan, kebebasan pers adalah sebuah peradaban. Dalam sejarah di dunia ini tidak ada negara yang hancur karena kebebasan pers. Menurut Ibnu Khaldun, kata Tarman, negara hancur karena buruk solidaritas sosial, lemah ekonomi dan militernya. "Kebebasan pers bukan ancaman bagi keselamatan negara," kata Tarman.
Menurut Pemimpin Redaksi Harian Terbit ini, pemuatan konten pornografi dalam media massa, baik cetak, online, maupun elektronik, bukanlah bagian dari kebebasan pers. "Pornografi bukan kebebasan pers. Itu merusak. Kebebasan pers itu untuk membangun peradaban," tandasnya.
Kebebasan pers yang dimaksud Tarman adalah kebebasan yang professional, tidak disalahgunakan. Sebab kekebasan pers jika tidak dikelola secara profesional akan berbahaya, bukan hanya bagi masyarakat, tapi juga bagi media itu sendiri. "Wartawan jangan hanya menuntut kebebasan pers, tapi juga melindungi masyarakat. Harus ada nilai edukatif dalam pemberitaan," ungkap pria yang telah 42 tahun jadi wartawan itu.
Lebih jauh Tarman mengatakan, wartawan Indonesia harus mengedepankan asas praduga tak bersalah. Karena itu jika menulis berita, hendaknya menggunakan kata “diduga”. Boleh saja menyebut nama seorang pejabat yang berbuat amoral, dan tak perlu lagi inisial. Namun, tetap memperhatikan asas praduga tak bersalah.
Seorang wartawan yang terbukti keliru saat memberitakan, maka atas kesadaran sendiri, harus meralat berita yang ditulisnya. Dalam dunia jurnalistik, ada yang namanya hak jawab, jika ada pihak, entah itu pejabat atau siapapun, yang merasa dirugikan dengan pemberitaan wartawan. “Jika media tersebut tidak melayani hak jawab seseorang yang merasa dirugikan, maka media itu bisa dituntut dan dijerat secara hukum atau denda sejumlah Rp. 500 juta. Terpenting adalah wartawan Indonesia harus beritikad baik,” ujarnya.
Di era reformasi, kebebasan pers tetap diatur oleh ketentuan hukum seperti UU Pers, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Penyiaran, KIP dan sebagainya. UU Pers tentang media antara lain: Setiap WNI berhak mendirikan perusahaan pers dengan keharusan berbadan hukum, memiliki nama, alamat dan penanggungjawab.
Bicara media komunitas (media berbasis agama, golongan dan profesi) baik dalam bentuk cetak, TV, Radio dan online, Tarman Azzam mengatakan, setiap zaman memiliki media komunikasi (medkom) tersendiri. Pasca kemerdekaan ada Harian Rakyat (milik PKI), Duta Masyarakat (NU) dan Abadi (Masyumi). Di masa Orde baru, ABRI punya Kantor Berita Pemberitaan Angkatan Bersenjata (PAB) dan Harian Angkatan Bersenjata, dan Golkar punya Harian Suara Karya.
Rezim Bisa Dibubarkan Karena Media
Sementara itu dikatakan Peneliti Senior CSIS, Jakarta, J Kristiadi saat menjadi pembicara kedua mengatakan, negara hendaknya tidak mengontrol media. Sebuah media akan mati dengan sendirinya bila tidak menjaga kredibelitasnya.
“Ketika negara memonopoli kebenaran, maka orang akan mencari pendapat yang berbeda dengan negara. Lalu dicarilah siapa yang berani bicara, pokoknya sesuatu yang berbeda dengan negara,” kata Kristiadi.
Menurutnya, peran media dalam kehidupan bangsa dan negara sudah dimulai sejak para pendiri bangsa ingin merebut kedaulatan dan mewujudkan kedaulatan negara Indonesia. Perubahan politik dari “daulat raja” menjadi daulat rakyat akhir tahun 1990-an semakin memantapkan media dalam posisi yang sentral. Bahkan keberhasilan rakyat mengalahkan hegemoni kekuasaan masa lalu juga berkat dukungan media massa.
Lebih lanjut ia mengatakan, peran media massa semakin penting sejalan dengan dinamika perkembangan demokrasi dewasa ini. Namun sayangnya media massa nasional kadang terjebak oleh kepentingan capital dan politik kepentingan sehingga isu-isu yang diangkat tidak mencerminkan kepentingan publik. Akibatnya media massa menjadi panggung pencitraan politik kekuasaan.
“Salah satu bentuk media komunitas adalah media komunitas religi, yakni komunitas agama tertentu dengan tujuan dakwah, misionaris atau menyebarluaskan informasi keagamaan. Isu utamanya adalah bagaimana nilai-nilai agama yang universal dijadikan landasan bersama untuk menghadirkan roh peradaban yang memperkokoh kehidupan bersama untuk mencapai kebahagiaan,” paparnya.
Menjadi penting, media komunitas untuk mengembangkan jurnalisme yang mengutamakan isu-isu yang menggalang kebersamaan dan tidak mempertajam perbedaan. “Menggelorakan dialog yang dapat memperdalam sikap saling pengertian. Bangsa Indonesia sudah ditakdirkan menjadi bangsa yang heterogen,” tandas Kristiadi (desastian)