BANDA ACEH (voa-islam.com) - Penerapan Syariat Islam di Aceh kerap menjadi bulan-bulanan media dengan pemberitaan yang cenderung mengabaikan etika dan asas praduga tak bersalah. Hal ini berdampak buruk terhadap Aceh di mata dunia internasional.
“Kita (media) asyik memberitakan Syariat Islam di Aceh yang negatif-negatif saja, sehingga imej kita (Aceh) jelek di mata luar,” kata pakar komunikasi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Abdul Rani Usman dalam workshop seputar pemberitaan Syariat Islam di Hotel Grand Nangroe, Banda Aceh, Jumat (30/11/2012).
Padahal, lanjut dia, kondisi di Aceh jauh lebih baik dan humanis dari perkiraan orang-orang di luar yang terjebak dengan pemberitaan sepihak oleh media.
Menurutnya, pemberitaan Syariat Islam dilakukan media selama ini hanya cendurung pada peristiwa semata, seperti cambuk, razia busana, penangkapan pelaku mesum dan aliran sesat. Seharusnya media juga perlu menggali cerita di balik berita sehingga menghasilkan berita yang konprehensif dan berimbang.
Dicontohkannya dalam kasus cambuk, media hanya memberitakan pencambukan saja tetapi mengabaikan hal-hal positif dan kemanusiaan seperti pemeriksaan kesehatan terhadap terpidana sebelum dan sesudah cambuk atau pendampingan medis terhadap terpidana cambuk.
“Yang diangkat hanya cambuk itu saja. Sehingga seolah-olah itu penyiksaan,” ujar Dekan Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry itu.
Rani menilai pemberitaan Syariat Islam di Aceh masih belum sepenuhnya objektif. “Baru benar 40 persen. 60 persen perlu dibenahi lagi. Sekarang ini kalau ada berita mesum langsung jadi Headline. Belum memberitakan penerapan Syariat Islam yang sebenarnya,” tukasnya.
Media diharapkan dapat menyuguhkan berita-berita tentang penerapan Syariat Islam di Aceh yang mendidik dan memberikan pencerahan kepada masyarakat. Sehingga orang luar tidak merasa takut ke Aceh.
Rani menilai ada pengaruh langsung dari pemberitaan negatif dari media tentang Syariat Islam selama ini, yang berdampak langsung terhadap penutupan objek-objek wisata karena dianggap sebagai tempat maksiat.
“Wartawan harus memberitakan potensi-potensi wisata yang ada di Aceh, jangan hanya yang jelek-jelek saja. Kalau wartawan memuji, maka dunia akan ikut memuji. Kalau wartawan mencaci, dunia ikut mencaci juga,” tamsilnya.
Sementara Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Maimun Saleh mengatakan, pihaknya memiliki program pemantauan media terhadap Syariat Islam yang tujuannya agar pemberitaan itu lebih menjunjung etika dan praduga tak bersalah.
Menurutnya upaya ini dilakukan sebagai dukungan pihaknya terhadap pemberlakuan Syariat Islam di Aceh. Dengan pemberitaan yang mendidik dan beretika, kata dia, Syariat Islam bukan menjadi hal menakutkan bagi masyarakat khususnya yang berada di luar Aceh.
"Jadi perlu adanya pemberitaan itu yang tidak salah tafsir, sehingga terbangun imej penerapan Syariat Islam di Aceh tidak miring," sebutnya. [Widad/okz]