JAKARTA (VoA-Islam) – Menyikapi stigmatisasi, marginalisasi dan kriminalisasi terhadap keberadaan pesantren di Indonesia, perlu segera disusun Undang-undang Pesantren. Rencananya, Usulan UU Pesantren itu akan dibahas dalam Simposium Nasional Pesantren yang berlangsung pada hari Ahad, 16-18 Desember 2012 di Sawangan, Depok, Jawa Barat.
“Acara symposium ini, lahir dari kegelisahan kalangan pesantren yang sepertinya terus menerima serangan dan ancaman serius terhadap eksistensinya. Stereotype dan lebelling soal terorisme Islam hingga nuansa kriminalisasi dan marjinalisasi pesantren. Belum lagi, secara sistem pendidikan nasional, pesantren hanya ditempatkan sebagai sub pendidikan nasional. Itu artinya, pesantren masih diletakkan sebagai pemai pinggira, cadangan, dan bukan pemain utama.”
Demikian disampaikan Ketua Umum Aspirasi Indonesia Dr. Adhyaksa Dault yang juga mantan Menpora dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (13/12) kemarin. Dalam konferensi pers itu Adhyaksa didampingi oleh Sekjen Aspirasi Indonesia Marbawi A. Katon.
Dikatakan Adhyaksa, simposium ini akan diikuti oleh 250 Pimpinan Pondok Pesantren dari berbagai provinsi yang ada di Indonesia, dari Aceh hingga Nuuwar (Papua). Rencananya, symposium ini akan dibuka oleh Menteri Koordinator Perekonomian RI, Tr. Hatta Rajasa, juga sekaligus sebagai Keynote Speaker.
Adapun para narasumber pada acara symposium ini dihadirkan dari berbagai unsure dan kalangan, antara lain: H. Zulkifli Hasan SE, MM (Menteri Kehutanan RI), KH. Hasan Abdullah Sahal dan Dr. H. Amal Fathullah Zarkasyi, MA (Ponpes Modern Darussalam Gontor), Drs. H. Husnan Bey Fananie MA (Anggota DPR RI), dan Pro. Dr. Dedi Djubaidi, M.Ag (Direktur Pendidikan Madrasah Kemenag). Juga mengundang Ary Ginanjar Agustian (ESQ), Dr. KH. Sofwan Manaf, M.Si (Ponpes Darunnajah Ulujami, Jakarta).
Diharapkan melalui symposium ini terjadi dialog yang konstruktif dan produktif untuk masa depan dunia pesantren yang lebih baik. Sperti juga militer, pesantren adalah pilar utama negara ini. Peran dan kontribusinya tak perlu diragukan lagi,” ujar Adhyaksa Dault.
Menurut Adhyaksa, posisi pesantren mash rentan dalam konteks kebijakan dan anggaran negara. Perlu perhatian serius guna menjadi pesantren, yang tak hanya sebagai ‘pemain cadangan’, tapi sebagai ‘pemain utama’ dalam dunia pendidikan di negeri ini.
Kasus terakhir yang sempat meresahkan kalangan pesantre adalah pencabutan status mu’adalah (persamaan) yang dulunya sempat diberikan oleh pemerintah. Sekalipun kebijakan itu telah dianulir, tapi tetap menyisakan persoalan – karena tak ada jaminan di kemudian hari tidak berulang lagi. Untuk itulah UU Pesantren yang bisa menjamin eksistensi pesantren perlu segara diusulkan dan dibuat.
“Kami berharap, hasil akhir symposium ini akan menghasilkan kesepakatan, deklarasi, dan tersusunnya Draft UU Pesantren yang benar-benar bermanfaat untuk kalangan pesantren. Setidaknya, symposium ini mencoba mengurai benang kusut persoalan di atas, dan mencari solusi dari berbagai persoalan yang mengancam umat Islam Indonesia,” tambah Sekjen Aspirasi Indonesia, Marbawi A. Katon. (desastian)