JAKARTA (voa-islam.com) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta penegak hukum bertindak tegas terkait penemuan bakso mengandung daging celeng atau babi hutan yang marak terjadi di beberapa daerah Jakarta belakangan ini.
Ketua MUI Pusat Ma'ruf Amin mengatakan, kasus bakso celeng tersebut sudah merupakan tindakan penipuan.
"Ya kalau sudah seperti itu, itu sudah tindakan penipuan, tindakan hukum, jadi sudah seharusnya penegak hukum cepat bertindak dan menindak tegas pelakunya," kata Ma'ruf ketika ditemui di Plaza Mandiri, Jakarta, seperti dikutip detik,Sabtu (15/12/2012).
...jadi sudah seharusnya penegak hukum cepat bertindak dan menindak tegas pelakunya
Menurut Ma'ruf, jika ada pedangang bakso atau daging yang mengaku tidak mengetahui ada kandungan babi dalam olahannya, itu tidak masuk akal.
"Tak masuk akan kalau pedagang daging atau bakso tidak tahu ada kandungan babi dalam dagangannya, karena kedua daging tersebut bisa dibedakan dengan kasat mata," ucapnya.
Tak Tahu Mengkonsumsi Makanan Mengandung Babi
KH. Ma'aruf Amin juga mengatakan, bagi masyarakat yang terlanjur mengkonsumsi produk olahan yang ternyata di dalamnya terkandung daging babi, secara Islam hal itu tidak apa-apa.
"Kalau tidak tahu ya tidak apa-apa, tapi mulai sekarang lebih hati-hati lagi dalam mengkonsumsi makanan," cetusnya.
Sebelumnya, hal senada juga pernah diungkapkan KH. Ali Mustafa Ya’qub bahwa ia berharap semoga Allah mengampuni atas ketidaktahuan itu
"Mereka mudah-mudahan diampuni karena ketidaktahuan itu. Karena selama ini di Indonesia lazimnya bakso itu dibuat dari daging sapi," ucap Wakil Ketua MUI Bidang Fatwa, KH. Ali Mustafa Ya'qub Kamis (13/12/2012).
...Mereka mudah-mudahan diampuni karena ketidaktahuan itu. Karena selama ini di Indonesia lazimnya bakso itu dibuat dari daging sapi
Ia mengatakan, harga daging sapi yang mahal seharusnya tidak menjadi alasan bagi penjual bakso untuk menggantinya dengan daging babi. Sebab yang menyebabkan daging babi diharamkan adalah faktor kenajisannya.
"Harga daging mahal itu adalah alasan klasik. Itu kan variatif. Ada yang harganya rendah sekali seperti lemak, ada yang harga sedang dan ada yang tinggi sekali. Bukan karena murah diharamkan dan mahal dihalalkan. Itu karena faktor kenajisannya," pungkas Ali. [Widad/dtk]