TANGERANG (VoA-Islam) - MUI adalah representasi Muslim, jadi kita tetap berpegang teguh terhadap Islam yang mengharamkan ucapan selamat natal. Natal itu ritual, tidak mungkin kita juga ikut-ikutan ritual mereka, kita cuma mengucapkan selamat tahun baru saja, karena itu kan keseluruhan. Demikian dikatakan Ketua MUI Kota Tangerang Edi Junaedi Nawawi.
Sementara itu, MUI Tangerang Selatan melalui Sekertarisnya Abdul Rajak mengharamkan umat Muslim mengucapkan selamat natal ke umat nasrani yang akan merayakan natal.
"Hal ini mengacu pada keputusan MUI pusat tahun 1981 yang waktu itu di pimpin oleh Buya HAMKA. Itu sama saja mengakui konsep Trinitas umat kristiani yang jelas-jelas ditentang dalam Al-Quran," kata Rajak kepada wartawan.
Rajak melanjutkan, keputusan tersebut belum dicabut oleh MUI pusat, jadi kita merujuk ke sana. Lagipula banyak cara untuk menghormati hari raya natal. "Seperti mengunjungi, ikut berbahagia, dan menjaga keamanan hari natal," ujarnya.
Rajak juga merespon statemen dari Menteri Agama yang mengatakan, mengucapkan selamat natal itu tidak ada masalah. Tapi MUI Tangsel tetap berpegang pada fatwa haram mengucapkan selamat natal menurut keputusan tahun 1981.
Buya Hamka
Usaha Hamka untuk membuat independen lembaga MUI mulai terasa ketika pada awal 1980 lembaga ini berani melawan arus dengan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan perayaan Natal bersama. Saat itu, Hamka menyatakan haram bila ada umat Islam mengikuti perayaan keagamaan itu.
Keberadaan fatwa tersebut kontan saja membuat geger publik. Terlebih lagi pada waktu itu arus kebijakan pemerintah tengah mendengungkan isu toleransi. Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan Natal bersama. Bila ada orang Islam yang tidak bersedia ikut merayakan natal, maka mereka dianggap kaum fundamentalis dan anti-Pancasila.
Keadaan itu kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Risikonya Hamka pun mendapat kecaman. MUI ditekan dengan gencarnya melalui berbagai pendapat di media massa yang menyatakan bahwa fatwa tersebut akan mengancam persatuan negara. Melalui sebuah tulisan yang dimuat di Majalah Panjimas, Hamka berupaya mempertahankan fatwa haram merayakan Natal bersama bagi umat Islam yang dikeluarkannya.
Hamka yang waktu itu tetap berpendirian teguh tidak akan mencabut fatwa Natal tersebut, akhirnya memilih untuk meletakkan jabatannya setelah ada desakan dari pemerintah. Ia mundur dari MUI pada 21 Mei 1981. Tak lama kemudian, beliau meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 24 Juli 1981.
Oleh sejumlah kalangan, sikap tegas Hamka ketika memimpin MUI merupakan cerminan dari pribadinya. Bahkan, banyak pihak yang mengatakan sepeninggal Hamka, Fatwa MUI terasa menjadi tidak lagi menggigit. Bahkan di masa Orde Baru, posisi lembaga ini terkesan hanya sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah terhadap umat Islam belaka. Desastian/Rol