POSO (voa-islam.com) - Kepolisian Poso, Sulawesi Tengah diduga melakukan salah tangkap. Tak hanya itu, oknum kepolisian itu juga diduga melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat korban salah tangkap tersebut.
Syafrudin, guru SMP Negeri 1 Kalora, merupakan salah satu warga yang menjadi korban salah tangkap. ''Saat ini, ayah saya masih ada di rumah sakit sejak dilepaskan dari tahanan. Dia masih sakit di tulang rusuk dan sulit bangun. Katanya ada kerusakan di bagian dalam,'' kata Ari Fahri, putera Syafrudin, seperti dikutip Republika, Rabu (2/1/2013).
Ia menjelaskan, kejadian ini bermula ketika Syafrudin mendengar ketukan pintu rumahnya setelah lepas mengajar dan menunaikan shalat di dzuhur berjamaah di Masjid Nurul Iman Desa Kalora.
Ketika membuka pintu, ia langsung ditodong dengan moncong senjata. Pihak kepolisian pun langsung memaksa untuk ikut ke pos kepolisian.
Karena masih mengenakan kaus gantung, ia meminta izin untuk mengenakan pakaian. Beberapa petugas kepolisian kemudian mengawalnya ke dalam rumah mengambil kemeja.
''Keluar rumah, Syafrudin diangkut truk Brimob. Sesampai di pos polisi desa Kalora di situlah ia mendapat pukulan,'' jelas Ari.
Menurutnya, sang ayah mengaku tak tahu berapa kali pukulan mendarat di wajahnya. Yang bisa diingat, hanya pertanyaan aparat yang menanyakan keberadaan Guntur, salah satu warga desa Kalora.
Guntur diduga terlibat dengan penyerangan pada 20 Desember 2012 yang menewaskan empat anggota Brimob, Syafrudin pun memberi tahu para anggota polisi bahwa Guntur ada di Poso.
Namun, tak terima dengan jawaban tersebut, Syafrudin kembali mendapat pukulan. Hingga kemudian ia tak sadarkan diri. Ia baru sadar saat mobil yang mengantarnya telah sampai di Polres Poso.
''Saya sudah tidak rasa lagi sudah diapakan semua saya selama dalam perjalanan. Hanya saja, saat tiba di Polres Poso baru saya rasakan sakit,'' ungkap Ari mengutip pernyataan Syafrudin.
Tak hanya itu, lanjut dia, selama masa tahanan di Mapolresta Poso, matanya ditutup. Baru setelah tiga hari ia kemudian dapat melihat.
Ia mengatakan, polisi menggunakan UU Terorisme untuk menangkap Syafrudin. Termasuk ketika tidak memberikan akses kepada keluarga untuk menjenguk selama 7 x 24 jam.
Baru setelah 7 x 24 Jam, Syafrudin dinyatakan tidak bersalah. ''Kamis (27/12/2012) Syafrudin dikeluarkan dalam keadaan muka babak belur. Bersamanya masih ada orang lain yang juga mengalami hal serupa,'' papar Ari.
Ia menambahkan, jumlah orang yang mengalami nasib sama dengan Syafrudin sebanyak 14 orang. Itu berasal dari Desa Kalora dan Desa Tambarana. Sebanyak sembilan orang bekerja sebagai penambang dan lima merupakan warga kampung.
Ari menyayangkan sikap kepolisian yang hingga saat ini belum menyampaikan permintaan maaf kepada Syafrudin atau pun pihak keluarga. Semua tahanan dilepaskan begitu saja, tanpa ada pemberitahuan apa pun. Padahal kondisi mereka sudah babak belur. Termasuk juga tak memberikan bantuan untuk pengobatan di rumah sakit.
''Kami sekarang mengupayakan proses hukum. Kami sudah meminta bantuan Paham (Pusat Advokasi Hukum dan Ham) Indonesia, insya Allah akan di praperadilankan.''
Ia berharap, oknum yang melakukan tindakan kekerasan itu bisa dicari dan mendapat sanksi tegas. Tak hanya itu, ia juga menuntut agar pihak kepolisian dapat melakukan tindakan rehabilitasi terhadap orang-orang yang sempat ditahan.
''Karena ini di kampung, dan itu sangat mengganggu korban dan juga keluarga,'' papar dia. [Widad/rpb]