JAKARTA (voa-islam.com) - Setelah disetujui Ketua Pansus, Adang Daradjatun, Senin kemarin, DPR RI kemudian mengesahkan penetapan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme menjadi undang-undang dalam rapat paripurna pada Selasa (12/2/2013).
Pengamat kontra-terorisme, Harits Abu Ulya justru melihat RUU yang disahkan menjadi undang-undang ini merupakan upaya pemerintah menyelaraskan dengan proyek barat dalam war on terrorism.
“Dalam kajian atas draft RUU pendanaan terorisme ini terkesan pemerintah hendak memberangus individu atau korporasi atau kelompok yang dicap teroris. Dan “nafsu” ini berdiri di atas paradigma yang salah kaprah sejak awal. Bahkan sangat terkesan pengesahan RUU adalah langkah penyelarasan atas proyek global Barat yang bernama WOT (war on terrorism) yang sangat pejoratif tendensius menjadikan umat Islam sebagai musuh dan bidikan,” kata Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) itu kepada voa-islam.com, Selasa (12/2/2013).
...pengesahan RUU adalah langkah penyelarasan atas proyek global Barat yang bernama WOT (war on terrorism) yang sangat pejoratif tendensius menjadikan umat Islam sebagai musuh
Harits mengungkapkan banyaknya pasal karet dalam RUU tersebut yang bisa digunakan untuk menjerat baik individu maupur korporasi lantaran hanya karena ‘patut diduga’ mendanai aksi terror.
“Dalam RUU ini memuat pasal karet, karena banyak frase “patut diduga”. Dan seseorang/korporasi/lembaga bisa dikenai UU ini hanya karena alasan patut diduga mendanai aksi teror langsung/tidak langsung,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, ada diantara pasal RUU pendanaan terorisme tersebut yang begitu rentan disalahgunakan lembaga keuangan untuk memfitnah individu maupun korporasi terkait kasus terorisme.
“Dalam pasal 9 ayat 4 begitu rentannya disalahgunakan oleh lembaga keuangan (lebih dari 18 jenis) untuk memfitnah seseorang/korporasi/lembaga dengan alasan “patut diduga” kemudian melaporkan ke PPATK dengan delik tindak pidana terorisme. Ini cara-cara jahat, melibatkan banyak pihak dengan parameter yang kabur,” jelasnya.
...Bahkan terkesan pemerintah ingin jadi seperti “perampok” atas aset korporasi jika mereka tertuduh terlibat dalam pendanaan aksi teror langsung atau tidak
Lebih dari itu, pemerintah seolah layaknya ‘perampok’ atas asset seseorang maupun korporasi hanya lantaran mereka diduga terlibat dalam pendanaan terorisme.
“Bahkan terkesan pemerintah ingin jadi seperti “perampok” atas aset korporasi jika mereka tertuduh terlibat dalam pendanaan aksi teror langsung atau tidak, lihat pasal 6 ayat 5d dan e,” tegasnya.
Anehnya menurut Harits, kejahatan korupsi yang jelas-jelas merugikan negara milyaran bahkan triliunan rupiah justru sama sekali tidak diberlakukan pasal seperti di atas.
“Dalam kejahatan besar, korupsi tidak diterapkan pasal ini, padahal korupsi juga melibatkan persekongkolan banyak orang dengan sebuah perusahaan atau departemen,” tandasnya. [Ahmed Widad]