View Full Version
Jum'at, 15 Feb 2013

Inilah Kebiadaban Densus 88, Seret Petinggi Densus ke Pengadilan HAM !

 

JAKARTA (voa-islam.com) – Tujuh orang yang belum jelas kesalahannya ditembak mati Densus 88 Anti Teror Mabes Polri di tiga tempat berbeda. Meski tidak terbukti, polisi menyatakan ketujuh orang tersebut terkait jaringan Poso. Mereka dituduh ikut bertanggungjawab terhadap penyerangan anggota polisi di Poso.

Tentu saja, mereka yang mati ditembak densus, tak bisa dikonfirmasi, apalagi membela diri, karena nyawanya sudah dihabisi aparat densus. Padahal menurut saksi mata yang ditemui di lapangan menyatakan, tidak terjadi tembak menembak. Yang terjadi adalah tembak di tempat terhadap orang-orang yang tidak dalam posisi melawan.

Di Makassar, dua orang yang diterjang peluru tajam oleh densus baru saja menunaikan shalat Dhuha di Masjid al-Afifah di komplek Rumah sakit Wahidin Sudirohusodo. Mereka ditembak saat masih berada di serambi masjid. Terlihat darah yang mengalir hingga ke pelataran, karena jenazahnya diseret aparat “keparat”.

Sehari berikutnya, di Bima – NTB, Bakhtiar ditembak ketika sedang dibonceng temannya yang naik motor. Tuduhan yang sama juga dilemparkan pada Bakhtiar, terlibat jaringan Poso. Padahal Tim Pencari Fakta dan Rehabilitasi (TPFR) yang dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat bersama ormas Islam dan LSM lokal, menemukan bukti bahwa Bakhtiar tidak pernah pergi ke Poso dalam dua tahun terakhir.

Kemudian di Dompu di hari yang sama. Tiga orang yang sedang di sawah, dekat Terminal Gante Dompu ditembak oleh Densus 88.  Hingga kini wartawan belum mendapat informasi identitas korban penembakan.

Tentu saja ini menjadi pertanyaan besar kita semua, siapa sesungguhnya yang teroris? Mengapa mereka ditembak dalam posisi yang tidak melawan. Benarkah mereka teroris seperti yang ditudukan densus atau korban salah tembak?

Setiap kali digelar jumpa pers, polisi menyatakan punya bukti tentang kepemilikan senjata api berupa pistol atau bom rakitan. Tapi tuduhan itu semua adalah informasi datang secara sepihak dari pihak kepolisian, tanpa ada pembanding. Andai korban yang mati bisa berbicara, akan terkuaklah segala kedustaan densus 88.

Sebelum penembakanberlangsung, beberapa waktu sebelumnya polisi secara semana-mena menyik sa 14 orang warga Poso. Mereka ditangkap dari tempat tinggal mereka dan dituding terlibat dalam penembakan terhadap empat anggota Brimob. Mereka ditahan selama tujuh hari. Dalam tahanan itulah mereka babak belur dihajar aparat kepolisian, mulai dari dipukul, disetrum, hingga dijepit kaki kursi. Mereka dilepas dengan kondisi terluka.

Pelanggaran HAM Berat

Komisioner Komnas HAM menyebut tindakan Densus 88, melakukan penggaran HAM berat, karena membunuh orang di luar pengadilan (extra judicial killing). Wakil Ketua Ketua Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron dalam diskusi bulanan yang digelar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Gedung Dewan Pers, Jakarta, mengatakan, kejadian di Makassar cenderung diskenariokan atau rekayasa.

Mantan Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming menyebut tindakan densus sebagai pelanggaran HAM berat. Karena itu, densus dan petingginya yang terlibat pelanggaran HAM, patut diseret ke penyelidikan projustisia pelanggaran HAM berat. Yang juga bisa diseret adalah pimpinan Polri secara berurutan, karena dari merekalah Densus 88 memperoleh mandat untuk melakukan operasi extra judicial killing.

Tindakan Densus melanggar UU 39 tahun 1999, khususnya pada penjelasan Pasal 104 junto UU 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM pasal 7 sub B dan Pasal 9, masing-masing dengan unsur pembunuhan, penghilangan orang, penyiksaan, teror, dan perbuatan lain yang sangat memenuhi syarat sebagaimana mandat kedua UU tersebut.

Selain itu, operasi Densus juga melanggar UU No.5 tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi PBB tentang anti penyiksaan dan perendahan martabat manusia dan penghukuman yang merendahkan martabat manusia. “Semua ini sudah cukup bukti awal bahwa Densus 88 layak diseret ke depan pengadilan,” kata Daming. [Desastian]


latestnews

View Full Version