JAKARTA (voa-islam.com) – Masih segar dalam ingatan, 14 warga Poso, Sulawesi Tengah, yang menjadi korban salah tangkap dibebaskan polisi. Sebelumnya, mereka sempat ditahan selama tujuh hari, sejak 20-27 Desember, karena dituduh terlibat penyerangan pada 20 Desember 2012 yang menewaskan empat anggota Brimob, tepatnya di Desa Kalora Kec. Poso Pesisir Utara Kab. Poso.
Ketika itu polisi menangkap empat warga Kalora dan sepuluh warga Desa Tambarana (berdekatan dengan Kalora). Polisi menuduh, korban salah tangkap itu terkait pembunuhan empat polisi. Namun masyarakat Kalora berpendapat sebaliknya, penangkapan terjadi lantaran keempat warga Kalora tersebut rajin shalat berjamaah, berjenggot dan sering mengadakan ta’lim di masjid setempat.
Densus 88 betul-betul biadab! Tanpa mengindahkan asas praduga tak bersalah, 14 korban yang ditahan itu diinterogasi secara berlebihan dan dihinakan dengan cara tidak manusiawi. Mereka disiksa, ditendang, dimasukkan kedalam karung sambil dipukuli oleh aparat, sehingga semua korban yang ditangkap itu mengalami luka yang sangat serius.
Syafrudin misalnya. Lelaki yang berprofesi sebagai Guru PNS SMP Negeri 1 Poso Pesisir Utara langsung pingsan saat dipukuli anggota polisi. Ketika sadar, ia sangat kaget melihat sekujur tubuhnya mengalami luka lebam.
Penyiksaan itu dibenarkan oleh Dewan Pembina Pusat Advokasi Hukum dan Ham (Paham) Indonesia, Heru Susetyo beberapa waktu lalu (2/1). Heru menjelaskan, hingga kini belum ada penyampaian maaf dan penggantian biaya berobat dari Polres Poso atas 14 korban salah tangkap. Paham Indonesia selaku kuasa hukum dari korban, mengutuk keras tindakan penyiksaan dan kekerasan aparat di Poso. Paham mendesak pemerintah mengambil tindakan tegas dalam ranah hukum pidana maupun perdata terhadap para pelaku penyiksaan dan kekerasan itu.
Ternyata tidak banyak umat Islam yang tahu, ihwal kebiadaban Densus 88 terhadap umat Islam di Poso. Berikut kesaksian empat orang dari 14 korban salah tangkap tersebut.
Syafrudin, Guru SMPN 1 Poso (Digebuki hingga Lebam)
Sepulang mengajar, pukul 12:00 Saya langsung menuju rumah. Selanjutnya saya berangkat menunaikan shalat Dzuhur berjamaah di masjid Nurul Iman Desa Kalora. Sepulang Shalat, sambil tidur-tiduran saya menyaksiakan berita televisi. Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu. Saya segera bergegas kedepan menemui tamu yang datang. Tak lama saya telah ditodong dengan moncong senjata. “Mari ikut ke pos,” bentak salah seorang petugas.
Saya yang saat itu masih mengenakan kaus gantung meminta izin untuk mengenakan baju. Beberapa petugas kepolisian kemudian mengawal ke dalam rumah mengambil baju kemeja untuk dikenakan.
Keluar rumah, saya diangkut truk Brimob. Sesampai di pos polisi desa Kalora disitulah saya mendapat pukulan. Tak tahu berapa kali sudah pukulan yang mendarat ke wajah perut dan dada. Saat itu saya ditanya tentang keberadaan Guntur, salah satu warga desa Kalora. Saya yang memang mengetahui Guntur saat itu berada di Poso Kota, mengatakan apa yang saya ketahui, “Guntur ada di Poso.”
Tak terima dengan jawaban tersebut, saya kembali mendapat pukulan. Saat itu saya berteriak “Kenapa saya dipukul ?” petugas kemudian membalas dengan bentakan: “Cengeng!”
Petugas menanyakan perihal ta’lim yang saya ikuti. Saya menjelaskan bahwa kami memang memiliki pengajian. Namun kami tak pernah diajarkan untuk membunuh polisi. Polisi kalau Muslim ia masih bagian dari saudara kita. Kalau ada yang membunuh polisi seperti itu, itu bukan kelompok kami. Petugas sepertinya tak menerima pembelaan yang saya sampaikan hingga kemudian berkali-kali pukulan dialamatkan ke saya.
Saat dibawa menuju Polres Poso saya sudah tak sadarkan diri akibat pukulan yang bertubi-tubi ke saya. Saat tiba di Mapolres poso saya baru sadarkan diri. Di Mapolresta Poso mata saya ditutup selama 3 hari. Saat mata saya dibuka barulah saya melihat sekujur tubuh saya dibagian dada, pinggan dan paha, telah lebam dan berwarna hitam.
Setelah masa tahanan selama 7 x 24 Jam sesuai UU terorisme yang diberlakukan kepada atas saya, saya dinyatakan tidak bersalah. Kamis (27/12/2012) Saya di keluarkan dalam keadaan muka babak belur. Bersama 4 orang yang juga mengalami hal serupa.
Syamsul (Pedagang Coklat) Dipukul Benda Tumpul
Saat adzan dzuhur saya bersegara ke masjid. Sesampai di masjid bersama beberapa jamaah yang juga telah ada di masjid, kami bercerita sambil menunggu iqamah. Saat itu salah satu jamaah mengabarkan peristiwa penembakan Brimob di Desa Kalora. Saya belum yakin dengan informasi yang disampaikan. Hingga kemudian kami shalat dzuhur bersama.
Selepas shalat saya langsung menuju rumah, ganti pakaian, kemudian ke kios coklat tempat saya bekerja. Tak lama, petugas datang dan bertanya: “Siapa yang namanya Sam?”
Saya kemudian unjuk tangan sambil mengatakan bahwa saya yang mereka maksud. Segera mereka menyuruh saya naik ke truk. Saya dibawa ke pasar. Setiba di pasar, saya di suruh pindah ke depan (samping supir) saya diminta menunjukan teman-teman saya yang sering ikut ta’lim. Karena memang tidak ada, saya segera di bawa ke pos Kalora.
Setiba di pos Kalora saya disuruh buka baju. Baju itu kemudian digunakan menutup mata. Dalam keadaan mata tertutup, petugas menyuruh jongkok. Selesai introgasi saya disuruh untuk naik ke truk. Saat akan menaiki trus saya merasakan benda keras membentur bagian belakang saya. Saya terjatuh, saat akan berdiri saya kembali merasa ada benda yang mendarat tepat di mata saya.
Dalam perjalanan ke Mapolres Poso mata saya masih dalam keadaan tertutup. Saat itu lagi-lagi saya merasakan ada benda tumpul yang dibenturkan di belakang leher saya. Setiba di polres sekali lagi saya mendapat pukulan di wajah.
Dalam pemeriksaan di Polres Poso mata saya ditutup selama dua hari. Dalam keadaan mata tertutup beberapa kali petugas yang datang ke saya meninju-ninju dengan pelan bekas pukulan yang sudah membekas di wajah.
Setelah masa penahan 7 X 24 jam saya kemudian di bebaskan karena tidak cukup bukti terkait keterlibatan penembakan Brimob seperti yang disangkakan.
Syamsudin (Pedagang Mie) Disetrum
Siang itu selepas shalat dzuhur saya telah bersiap untuk jualan mie. Saya juga sudah nyalakan kompor untuk persiapan jualan. Tak lama kemudian ada petugas datang. Mereka masuk ke dalam rumah menendang pintu dan mengobrak- abrik isi kamar. Melihat perilaku petugas, istri saya tak senang kemudian berujar. “Jangan tendang-tendang pintu Pak!”
Tidak menerima perkataan istri saya mereka balik membentak. “Oh...jangan melawan kalau tidak mau menyesal.” Petugas kemudian menyuruh saya tiarap. Saya menuruti perintah mereka hingga kemudian keduan tangan saya diikat kebelakang. Selanjutnya saya dibawah ke truk melewati pintu belakang rumah.
Saya disuruh berdiri untuk naik ke truk dibawa ke pos Kalora. Di pos, saya dipukuli dibagian wajah dada dan perut. Pukulan tersebut berkali-kali mendarat di wajah dan badan saya. Saat diintrogasi di pos polisi saya disuruh jongkok dengan mata tertutup. Setelah disintrogasi dan dipukuli di pos, saya kemudian di bawa ke Polres Poso.
Setiba di Polres Poso, saat baru turun dari truk yang membawa ke Polres, saya mendapatkan pukulan dari petugas. Saya kemudian dipisahkan dengan tahanan lainnya yang juga ditangkap saat itu. Saya ditempatkan di ruangan sendiri. Saat di Polres saya masih mendapati sejumlah penyiksaan saat introgasi. Mata saya ditutup selama dua hari tiga malam.
Sejumlah penyiksaan yang saya terima saat di Mapolres Poso, saya disetrum, kaki saya dijepit dengan kursi, kaki saya diinjak kursi yang diduduki petugas. Hingga mereka memasukan moncong senjata ke dalam mulut saya dan mengancam akan menembak mati.
Setelah masa penahanan 7 x 24 jam selesai, saya kemudian dibebaskan karena dianggap tak cukup bukti terkait keterlibatan terorisme.
Sukamto (Warga Kalora) Dihajar Hingga Pingsan
Saat penembakan Brimob saya berada di rumah. Saya tidak tahu persis tempat kejadian penembakan tersebut. Saat itu saya sedang memasang instalasi listrik di rumah saya, ketika selesai memasukan kabel di paralon, saya kemudian turun. Tak lama saya mendengar kabar ada penembakan Brimob. Selang beberapa saat ada Brimob yang teriak menyuruh saya keluar dari rumah, setahu saya Brimob itu juga adalah warga Kalora. Brimob itu berteriak bahwa saya dalang dari kejadian tersebut.
Kerah baju saya kemudian ditarik oleh Brimob yang datang mengrebek rumah. Saya diseret dan dipukuli. Mereka menyuruh saya teriak memanggil nama kakak saya. Sekitar jam 10 saya sudah di pos Brimob Kalora. Di situlah oleh beberapa petugas saya dipukuli dan dihajar hingga pingsan. Saya baru tersadar saat mobil yang membawa telah sampai di Polres Poso. Saat penangkapan saya, istri sedang berada di dalam rumah. Seluruh warga dilarang keluar. Nyaris tak ada yang melihat saya saat itu. Di Polres Poso saya diperlakukan dengan baik. Tak ada lagi penyiksaan seperti di pos Kalora.
Jufri (warga Kalora) Diseret di Aspal
Setelah shalat Dzuhur saya bersantai di teras rumah bersama istri dan anak-anak sambil bersiap-siap untuk kembali bekerja. Sekitar beberapa saat, petugas datang bermaksud mengambil saya. Firasat saya berkata bahwa petugas akan mengambil saya. Saya kemudian mengatakan kepada mereka: “Kalau mau ambil saya jangan todongkan pistol disini ada anak-anak saya.”
Saya kemudian diangkut kedalam mobil brimob dan dibawa ke pos Kalora. Di pos Kalora saya dipukuli oleh petugas yang ada. Muka dan badan saya menjadi sasaran pemukulan mereka. Saya tak tahu berapa kali sudah pukulan mereka mendarat di wajah dan badan saya. Saat itu kaki saya di jepit dengan kursi lipat. Saat hendak di bawah ke Mapolres Poso, saya diseret di aspal. Luka saya kemudian disirami jeruk. Saya kemudian dinaikan kedalam truk dan dibawa ke Mapolres Poso.
Saat tiba di Mapolres Poso, saya pun masih mendapatkan perlakuan kasar dari aparat. Hingga selesai masa tahanan 7 x 24 jam saya dilepaskan karena tak cukup bukti keterlibatan saya pada peristiwa penembakan Brimob. [desastian/media umat/dbs)