JAKARTA (voa-islam.com) –Meski 14 korban salah tangkap di Poso telah dibebaskan polisi, namun mereka masih menyimpan trauma yang mendalam. Kebrutalan Densus 88 atas umat Islam yang tidak terbukti bersalah, adalah teror yang menciptakan ketakutan di masyarakat.
Seperti diberitakan media massa, Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) mencatat sebanyak 14 warga Poso, Sulawesi Tengah telah menjadi korban salah tangkap oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri beberapa waktu lalu. Mereka difitnah Densus, terlibat aksi teror di Poso.
"Sebanyak 14 orang itu terdiri dari sembilan penambang emas yang berasal dari Desa Tambarana dan Kalora, serta lima warga biasa,” ujar Advokat PAHAM Heru Susetyo saat diskusi "Perlindungan WNI di Era Reformasi" di Restoran Abu Nawas, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu, (2/1/2013).
Setelah tidak terbukti terlibat, mereka dibebaskan aparat kepolisian. Namun, Menurut Heru mereka telah terlanjur mengalami penyiksaan yang diduga dilakukan anggota Brimob maupun aparat Polres Poso. Setelah dibebaskan, tidak ada permintaan maaf oleh aparat. Biaya pengobatan juga ditanggung korban dan keluarga.
“Menurut pengakuan para korban, mereka diambil dan dibawa truk Brimob ke Polres Poso. Ketika itu mereka takut pulang ke desanya dan kondisi fisik rata-rata masih lemah dan sakit karena penyiksaan itu,” terang Heru yang juga kuasa hukum salah satu korban, Syarifudin.
Selain PAHAM Indonesia, LPSK juga memberi perlindungan saksi atau korban salah tangkap di Poso. Pasca penyiksaan terhadap korban salah tangkap di Poso, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima pengajuan permohonan perlindungan 5 korban salah tangkap oleh polisi.
Seperti diberitakan sebelumnya, juru bicara LPSK, Maharani Siti Shopia, mengatakan permohonan perlindungan terhadap 5 orang saksi dan korban salah tangkap tersebut diajukan Komnas HAM pada 28 Desember 2012 lalu. Hal ini dilakukan setelah setelah Komnas HAM melakukan pemantauan peristiwa penanganan kasus terorisme di Poso.
"Hasil pemantauan komnas HAM menyebutkan adanya dugaan penyiksaan terhadap para saksi dan korban tersebut di dalam tahanan. Selain itu,berdasarkan hasil pemeriksaan, mereka tidak terbukti terlibat dalam peristiwa penembakan dan akhirnya di bebaskan," kata Maharani.
Permohonan perlindungan ini, terkait adanya ketakutan dari para saksi dan korban tersebut untuk kembali ke rumahnya. Bahkan ketika itu ada ancaman agar tidak melaporkan atau memberikan informasi terkait oknum polisi yang melakukan dugaan penyiksaan terhadap mereka selama dalam tahanan.
"Tindakan penyiksaan tersebut tentunya memberikan dampak trauma yang mendalam terhadap para pemohon yang justru menjadi korban salah tangkap. Mereka mengalami penyiksaan dalam tahanan dan kini telah dibebaskan karena tidak cukup bukti," tuturnya.
Sebelumnya telah diberitakan, sebanyak 14 orang dari Desa Tambarana dan Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara, menjadi korban salah tangkap kepolisian setempat. Mereka ditangkap seusai penyerangan terhadap patroli Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah di Gunung Taswinuni, Desa Kalora, 20 Desember 2012 lalu. Setelah diperiksa dan tidak terbukti terlibat penyerangan, mereka dibebaskan.
Densus Mirip PKI
Ketua Koordinator Indonesia Crime Analyst Forum (ICAF) dan aktivis Muhammadiyah, Mustafa B. Nahrawardaya kepada Media Umat, menilai kekejaman Densus 88 mirip PKI. Menurutnya, Densus 88 telah melakukan pembunuhan terhadap muslim. Ketika mereka ditembak mati, Densus 88 hanya menduga teroris. “Jadi, kalau menembak muslim itu sudah pasti, tapi menembak teroris masih dugaan. Artinya Densus telah melakukan pembantaian dan pembunuhan terhadap muslim, bukan teroris,” ujarnya.
Dikatakan Mustafa, yang menyatakan mereka teroris atau bukan adalah keputusan dari pengadilan, atau menunggu keterangan dari saksi lain. Tapi, saksinya pun tidak jelas, ada yang mati, dan ada yang dalam tekanan. Itulah yang aneh.
Dalam siding di Jakarta Timur, misalnya, ada terdakwa mempertanyakan barang bukti, seperti motor dan uang ratusan juta yang disita Densus, tapi kok tidak ada. Di Depok, ketika menangkap Farhan dkk, handphone dan uang serta barang-barang keluarga juga disita Densus. Lalu kemana uang itu? Ini seperti perampok berbaju Densus.
“Hal seperti ini harus dievaluasi besar-besaran oleh Komisi III DPR RI dan ormas-ormas Islam lain. Mengingat sudah ratusan nyawa kaum muslimin meninggal karena kekejaman Densus. Ini tak boleh dibiarkan begitu saja, apalagi cara-cara yang dilakukan Densus, sangat kejam mirip PKI.
Senada dengan Mustafa, Mantan Komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming, menilai pembunuhan terhadap 7 warga yang dituduh Densus 88 sebagai teroris di Makassar dan Bima pada Jum’at (4/1) dan Sabtu (5/1) merupakan bukti bahwa Densus 88 sudah melakukan pelanggaran HAM berat, sehingga densus dan para petingginya patut diseret ke penyelidikan projustisia pelanggarah HAM berat, termasuk pimpinan Polri secara beruntun, karena dari merekalah Densus 88 memperoleh mandate untuk melakukan operasi extra judicial killing (pembunuhan di luar jalur hukum). [desastian/dbs)