JAKARTA (voa-islam.com) – Wakil Ketua Komnas HAM, M Nukhoiron menduga Densus 88 telah melakukan penggaran HAM berat. Buktinya, di Makassar dan beberapa daerah lainnya ada penembakan yang dilakukan oleh Densus 88, padahal korban yang ditembak di depan masjid, sama sekali tidak menunjukkan perlawanan. Komnas HAM mengaku punya bukti, sebuah video yang merekam anak-anak usia 17-an, disuruh telanjang oleh Densus, dan disuruh lari, kemudian di tembak dari belakang.
Prilaku Densus 88 dalam menindak terduga teroris telah meresahkan masyarakat, terutama umat Islam. Densus 88 diduga telah melakukan pelanggaran HAM berat karena telah sengaja beberapa kali melakukan salah tangkap dan salah tembak yang mengakibatkan adanya korban nyawa dan luka-luka.
“Ini akan kami usut. Kami masih mencari bukti-bukti, sehingga bisa menunjukkan juga kepada pihak kepolisian dan seluruh pihak yang berwenang bahwa kesalahan Densus 88 ini perlu segera diselesaikan bahkan diakhiri,” ujar Wakil Ketua Komnas HAM M Nurkhoiron dalam Halaqoh Islam dan Peradaban, Rabu (13/2/2013) lalu, di Gedung Dewan Pers, Jakarta.
Salah tangkap dan salah tembak merupakan salah satu indikasi yang menunjukkan pelanggaran HAM berat oleh Detasemen Khusus 88. Namun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengatakan masih perlu data tambahan untuk menuntut pelanggaran HAM yang dilakukan Densus 88.
Nurkhoiron pun menyebut beberapa hasil penelusuruan pihaknya. “Di Makasar ada penembakan, padahal korban sama sekali tidak menunjukkan perlawanan. Para korban itu ditembak di depan masjid,” ungkapnya dalam acara yang digelar sebulan sekali oleh Hizbut Tahrir Indonesia.
Sebelumnya, Komnas HAM juga menyesalkan ulah Polisi dari Densus 88 yang menembak mati Abu Uswah dan Kholid di Masjid Nur Alfiah, RS Wahidin Sudirohusodo, Jl Perintis Kemerdekaan, Makassar, Jumat (4/1/2013) sekitar pukul 10.45 wita. Keduanya tewas ditembak Densus saat berada di depan pintu masuk Masjid tersebut.
Wakil Ketua Komnas HAM, Muhammad Nurkhoiron, mengatakan, justru Densus dalam insiden maut itu melanggar undang-undang HAM. Aparat sudah main hakim sendiri. Selain itu, kejadian cenderung diskenariokan atau rekayasa.
“Giliran Makassar/Sulsel jadi kelinci percobaan Densus 88. Justeru densus yang melanggar HAM karena orang yang ditembak mati baru dugaan,” katanya. Ia mencium kejadian di Makassar itu ada skenario untuk membuat masyarakat sekitar, terutama kalangan ustad, kalangan pesantren, ulama tersudutkan, apalagi menjelang Pilgub.
Lebih lanjut, menurut M Nurkhoiron, polisi atau densus 88 perlu dievaluasi. Kalau aparat dibiarkan sewenang-wenang mengeluarkan stigma teroris, kata M Nurkhoiron, maka akan semakin mengancam ketentraman dan kedamaian masyarakat Kota Makassar khususnya.
Komisi III Bersuara
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Almuzzammil Yusuf menduga Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) dan Mabes Polri telah membiarkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 dalam menindak terduga teroris berupa salah tembak dan tangkap.
“Sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan Perpres Nomor 46 Tahun 2010 tentang BPNT seharusnya kedua lembaga ini melakukan audit kinerja dan pengendalian terhadap kinerja Densus 88 di lapangan yang sudah diluar batas kemanusiaan seperti salah tembak dan salah tangkap,” kata Almuzzammil Yusuf, dikutip JPNN, Jum'at (15/02/2013).
Sayangnya lanjut poltisi PKS itu, kita tidak melihat adanya sanksi dan audit kinerja yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut. ”Publik memandang BNPT dan Mabes Polri cenderung membiarkan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Densus 88. Untuk itu kami dapat memahami jika ada sebagian masyarakat yang menghendaki Densus 88 dibubarkan,” ungkapnya.
Menyikapi hal tersebut, Komisi III DPR berencana membentuk panitia kerja (Panja) pengawasan Densus 88. “Tujuannya agar aspirasi dan kritik masyarakat terkait penanganan terorisme dapat ditangani oleh DPR dan direspon oleh Kapolri dan BNPT. Panja juga akan meminta agar kinerja penanggulangan terorisme dilakukan secara transparan dan akuntabel,” harapnya.
Muzzammil menegaskan bahwa dirinya dan rekan-rekannya di Komisi III DPR mendukung pemberantasan terorisme di Indonesia yang dipimpin oleh BNPT. Namun, penanggulangan terorisme harus menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah dan tidak boleh melanggar konstitusi dan hak asasi manusia.
“Kami tentu mendukung penanggulangan terorisme. Tetapi kami tidak berharap tindakan Densus 88 malah kontrapoduktif dan memicu kemarahan masyarakat,” tegasnya.
Dikatakan Almuzzammil Yusuf, itu terjadi karena BNPT dan Mabes Polri telah mendiamkan tindakan Densus 88 dalam menindak terduga teroris dengan cara melanggar HAM. [desastian/dbs]