JAKARTA (voa-islam.com) – Badan Halal Nahdlatul Ulama yang diluncurkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj ternyata didukung oleh LSM dan tokoh yang berpaham liberal. Dalihnya untuk menjamin perlindungan terhadap kepentingan konsumen dan pelaku usaha di Indonesia, terutama kosumen dan produsen dari kalangan Nahdliyin.
Seperti diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat saat ini sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal, yang nantinya akan menentukan lembaga mana yang berhak menerbitkan sertifikasi. Pembahasan ini telah dilakukan sejak 2004 lalu. Rencananya RUU tersebut akan disahkan pada akhir Februari ini.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah mendesak DPR agar menetapkan MUI sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menerbitkan sertifikat produk halal. Dibentuknya Badan Halal NU menimbulkan polemik, mengingat LPPOM Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah satu-satunya lembaga sertifikasi halal yang diakui Pemerintah. MUI menilai pendirian Badan Halal NU akan membingungkan masyarakat.
Anggota Panitia Kerja RUU Jaminan Produk Halal, Ali Maschan Moesa, mengatakan setuju harus ada lembaga lain selain MUI yang berhak menerbitkan sertifikat produk halal, agar ada persaingan yang sehat.
MUI, menurut Ali Maschan, tidak perlu khawatir dengan keikutsertaan lembaga lain dalam menerbitkan sertifikat produk halal karena apabila masyarakat sudah percaya dengan MUI, maka dia akan meminta sertifikat produk halal dari MUI dan bukan lembaga lain.
Sejumlah anggota Pansus RUU itu, lanjut Ali Maschan, berencana akan mengusulkan adanya lima lembaga yang berhak mengeluarkan sertifikat produk halal di Indonesia. “Saya harus akuilah yang merintis (sertifikat halal) itu MUI. Nah, MUI tetap kita hargai sebagai orang yang mendahului. Tetapi persoalan hari ini PBNU sekarang punya, mungkin sebentar lagi Muhammadiyah juga punya. Sebenarnya jalan tengahnya sudah cukup bagus, kalau regulatornya Menteri Agama, tetapi operatornya silakan masyarakat termasuk MUI punya, PBNU punya, itu sebenarnya yang paling rasional,” ujar Ali.
Hal senada dikatakan tokoh liberal, yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, Husein Muhammad . Ia menanggapi pro-kontra pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (RJPH). "Saya tegaskan konflik itu dipicu masalah dirham dan dinar. Sertifikasi halal ini masalah rebutan dirham dan dinar saja. Apa sih perlunya lembaga sertifikasi halal? Kita harus kembalikan pada konsep dasar fikih, bahwa pada dasarnya semua makanan itu halal, kecuali yang sudah ada ketetapannya haram," tegas Husein yang berpikiran liberal.
Menurut Husein, lembaga yang menilai 'kehalalan' cukup Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM). "BPOM itu sudah cukup. MUI itu tidak perlu ikut-ikutan, nantinya dicurigai ada kepentingan bisnis di dalamnya. Yang benar sertifikasi haram, bukan sertifikasi halal," kata Husein.
Husein juga menegaskan bahwa labelisasi halal telah membuat pengusaha makanan dan minuman ketakutan. "MUI sebagai lembaga itu seakan-akan jadi lembaga paling absah, kalau tidak mengikuti akan diserang masyarakat," ujarnya.
Soal rebutan kewenangan sertifikasi halal itu, menurut Husein, patut dicurigai terkait kepentingan bisnis. "Paling tidak ini bisa dicurigai untuk mengambil keuntungan berapa rupiah yg didapat. Ini keuntungan yang besar. Berapa produk yang dapat sertifikasi tinggal dikalikan saja," pungkasnya.
FPKB: Sertfikasi Halal Tak Wajib
Konyolnya, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI menyatakan, Sertifikasi Halal tak Diwajibkan. FPKB mendukung adanya lembaga sertifikasi halal swasta, atau yang didirikan dan dikelola oleh instansi bentukan non Pemerintah. Alasannya,di negara maju seperti Amerika dan Austrlia yang penduduk muslimnya minoritas, justru tidak ditemukan praktek monopoli lembaga sertifikasi halal.
Sekretaris FPKB DPR RI Muhammad Hanif Dakhiri, mengatakan perlindungan terhadap konsumen, termasuk di dalamnya jaminan produk halal, adalah tanggung jawab negara. Meski demikian caranya tidak melalui pemaksaan sertifikasi halal oleh pemerintah atau instansi bentukannya.
"Yang perlu digaris bawahi adalah untuk Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, semua produk harus diasumsikan halal, kecuali yang sudah jelas-jelas diketahui haram. Tapi sebagai kewaspadaan sertifikasi tetap harus dilakukan, namun tidak dengan cara pemaksanaan pelaksanaannya oleh pemerintah atau instansi bentukannya," kata Hanif di Jakarta, Rabu (20/2).
Hanif menambahkan, sertifikasi halal hendaknya dijalankan dengan sifat tak wajib, melainkan sukarela oleh produsen produk makanan dan jasa yang dipasarkan di tengah masyarakat."Meskipun tidak wajib, secara teoritik di Indonesia ini semua produsen pasti membutuhkan sertifikasi halal, agar bagaimana produk yang mereka pasarkan bisa diterima masyarakat muslim," lanjutnya.
Terkait siapa yang berhak memberikan sertifikat halal, Hanif berpendapat hanya ulama sebagai pemegang otoritas agama dalam masyarakat yang bisa melakukannya. Dalam konteks ini semua organisasi yang di dalamnya berhimpun para ulama berhak melakukannya, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dengan catatan memenuhi kompetensi yang disyaratkan.
Hal senada juga dikatakan pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Berly Martawardaya. Ia mengatakan harus ada lebih dari satu lembaga yang berhak menerbitkan sertifikat produk halal sehingga proses sertifikasi tersebut dapat dilakukan lebih cepat dan murah. “Sertifikasi Halal jangan hanya dikeluarkan MUI,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai penerbit sertifikasi halal memiliki keterbatasan kapasitas dan laboratorium yang dimiliki. Berly berharap sertifikasi produk halal ini tidak diwajibkan bagi kelompok usaha kecil dan menengah karena selama ini proses sertifikasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga itu akan membebani mereka.
“Lebih cepat dan lebih mudah dan murah kalau tidak hanya satu institusi. Prinsipnya inikan seperti [standar mutu] ISO, harus ada proses bisnis yang harus dilalui dan ini tidak harus oleh MUI. Yang penting kompetensinya memadai,” ujarnya.
“Kita juga punya BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Ini jangan menjadi sumber dananya MUI. Prosedur-prosedurnya harusnya memiliki indikator bahwa ini mudah, bahwa ini murah dan cepat. Jadi saya kira itu yang menjadi tolak ukur dan indikator.”(desastian/dbs)