JAKARTA (voa-islam) – Menarik membedah buku “Wawasan Kebangsaan: Menuju NKRI Bersyariah”, karya Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Syihab. Wacana tentang rekomendasi pengkajian pendirian Partai Islam dibawah control FPI yang muncul dari Hasil Munas II FPI di Bogor pada 9-11 Desember 2008 lalu, sempat menjadi bahan perbincangan hangat di berbagai media.
Ketika itu Habib Rizieq mengatakan, “…Mereka (masyarakat muslim awam) kecewa terhadap partai Islam yang ada, karena merasa dikhianati…lalu lahirlah rekomendasi tentang Kajian Pendirian Partai Islam sendiri sebagai wadah aspirasi bagi segenap aktivis FPI dan keluarganya, termasuk untuk simpatisan FPI di seluruh pelosok Indonsia. Partai yang mereka harapkan adalah Partai Islam yang memiliki ruh revolusi Islam, yang melaksanakan Politik Syariat, bukan politik kepentingan, yang tujuannya hanya ridho Allah Swt semata, sehingga urusan dipilih tidak dipilih dan menang kalah bukan agenda penting lagi…”
Jadi kesimpulannya, bukan FPI jadi partai sebagaimana diberitakan sejumlah media, melainkan FPI berencana membentuk partai. Dalam buku itu juga ditampilkan sejumlah tokoh, dari mulai tokoh politik, pengamat politik, hingga aktivis liberal. Ada pro-kontra dalam menyikapi FPI jadi parpol. Semua kritik dan saran tersebut diterima dengan baik oleh FPI, selama argumentatif.
FPI Tidak Boleh Jadi Partai
Setelah memperhatikan semua pernyataan Pro dan Kontra terhadap wacana Partai FPI, Habib Rizieq Syihab selaku pendiri dan Ketua Umum FPI, menegaskan:
“Tidak, FPI tidak boleh jadi partai, dan insya Allah tidak akan pernah jadi pertain. Itu adalah amanat Pendiri FPI saat dideklarasikan pada 17 Agustus 1998. Namun, sesuai AD/ART organisasi, tidak menutup kemungkinan FPI mendirikan partai sebagai saluran aspirasi umat Islam yang ingin menegakkan syariat Islam secara kaaffah. Itulah yang direkomendasikan Munas II FPI yang berlangsung pada 9-11 Desember 2008 yang lalu.”
Rekomendasi Munas II FPI tentang kajian pendirian partai semula menjadi pro-kontra dalam internal organisasi, namun setelah menjadi Ketetapan Munas, maka suka tidak suka semua aktivis FPI mesti tunduk kepada hasil Munas, karena karakter dan tradisi di FPI selalu menjunjung tinggi Musyawarah untuk mufakat. Rekomendasi tersebut ditanggapi beragam oleh kalangan politisi nasional maupun pengamat, ada yang menyambut positif, tapi tidak sedikit yang sinis.
Selama ini, sikap politik FPI jelas, seperti ditulis Habib Rizieq, yaitu mendukung sepenuhnya semua Partai islam, dan dalam setiap pemilu hanya menyalurkan suara ke Partai Islam. Lalu, kenapa kini FPI ingin mendirikan partai sendiri?
“Saya melihat, fenomena pendirian partai bagi FPI, merupakan akumulatif kekecewaan kawan-kawan FPI di berbagai daerah terhadap kinerja Partai-partai Islam selama ini.”
Yang menjadi pertanyaan besar adalah mampu dan siapkah FPI membentuk partai politik? Siapkah aktivis FPI menerima wacana ini? Siapkah aktivis FPI menghadapi godaan-godaan politik yang bisa menjerumuskan? Apakah aktivis FPI mewarnai system yang ada atau justru diwarnai? Masih banyak lagi yang perlu dikaji. Kalau saja FPI membentuk partai politik, apa kata dunia? Desastian