JAKARTA (voa-islam.com) – Masih membedah buku “Wawasan Kebangsaan: Menuju NKRI Bersyariah”, karya Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Syihab. Berikut ini adalah kenapa umat Islam awam kecewa dengan partai-partai Islam yang ada:
Pertama, tatkala berbagai ormas islam dan sejumlah partai islam sedang mati-matian memperjuangkan pengembalian Piagam Jakarta di DPR/MPR RI, justru ada partai Islam yang menggebu-gebu mementahkannya dengan dalih memperjuangkan Piagam Madinah. Seorang petinggi partai islam lainnya member pernyataan bahwa Piagam Jakarta adalah masa lalu, yang lainnya menyatakan amandemen UUD 1945 sudah final. Secara ijtihad politik sah-sah saja, namun secara etika membingungkan awam
Kedua, tatkala sejumlah partai islam telah sepakat membangun Fraksi Islam di DPR/MPR RI sebagai wujud persaudaraan dan persatuan, tiba-tiba ada partai Islam yang lebih suka berkoalisi dengan partai lain dengan dalih reformasi. Secara ijtihad politik bisa dijelaskan, namun secara etika mengagetkan awam.
Ketiga, sejumlah partai islam saat kampanye berteriak mengharamkan Presiden Wanita, tapi ketika mereka harus menggulingkan presiden pria dengan konsekuensi presiden wanita yang naik, mereka kerjakan juga dengan dalih “darurat”. Padahal mereka punya alternative untuk memperjuangkan Pemilu ulang, tapi kenyataannya tidak ada formulasi perjuangan politik ke arah sana, bahkan mereka ikut bagi-bagi kue kekuasaan bersama Presiden Wanita yang semula mereka haramkan.
Keempat, sejumlah partai islam saat kampanye berkomitmen hanya akan mengajukan caleg Muslim, namun kenyataannya mereka mengajukan caleg-caleg non muslim di sejumlah daerah dengan dalih terpaksa karena daerah mayoritas non muslim. Padahal di daerah tersebut masih ada orang Islam yang bisa dicalonkan.
Kelima, ada politisi wanita senior dari partai Islam tidak pernah mengenakan busana muslimah sebagaimana mestinya, dia hanya mencukupkan diri dengan kebaya dan kerudung ala kadarnya, dalihnya Islam tidak boleh dipaksakan dan perlu tahapan dalam penerapannya, yang penting sopan.
Keenam, ada petinggi partai islam yang istrinya tidak berjilbab dan dipamerkan di depan awam secara terbuka, alasannya masih dalam proses da’wah.
Ketujuh, saat berbagai ormas islam dan sebagian partai Islam memperjuangkan Pembubaran Ahmadiyah, terlihat jelas partai Islam tidak punya semangat untuk itu, kecuali sekedar mengeluarkan pernyataan di media, atau menyurati presiden secara sembunyi-sembunyi, tanpa langkah kongkrit yang menggigit.
Kedelapan, saat berbagai ormas Islam yang anti Ahmadiyah dan pro RUU APP (ketika itu) berhadap-hadapan dengan AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama) yang pro Ahmadiyah dan anti RUU APP, justru ada partai islam yang member penghargaan kepada sejumlah tokoh AKKBB.
Kesembilan, saat berbagai ormas Islam ingin menyalurkan aspirasi melalui DPR RI, terkadang sulit menemui para anggotanya dari kalangan partai Islam, bahkan ada yang enggan menerima, karena menganggap bukan dari “kelompok”nya. Padahal, ormas-ormas Islam inilah yang mensuplai suara terbesar bagi partai-partai Islam tersebut saat pemilu. Inilah yang tidak dimengerti oleh awam.
Akibat dari itu semua, awam menilai bahwa partai islam tak ada bedanya dengan partai sekuler lainnya, bahkan ada yang menilai bahwa partai Islam hanya “jualan Islam” saja, sehingga awam merasa tidak ada beban untuk meninggalkan partai Islam. Parahnya lagi, jika partai islam malah menampung aspirasi aktivis kiri berhaluan komunis.
Jangankan awam, elit ormas Islam saja kebingungan menafsirkan maneuver politik partai-partai Islam. Inilah yang mendorong awal lebih memilih tidak menggunakan hak politiknya alias Golput (Golongan Putih). desastian