SOLO (voa-islam.com) – Masih banyak kaum muslimin yang menganggap bahwa syari’at jihad saat ini hukumnya fardhu khifayah. Hal ini tak lepas dari pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang masih belum mengerti secara total apa itu arti dari fardhu khifayah dan apa yang dimaksud dengan fardhu ‘ain.
Sehingga, masyarakat pada saat sekarang ini cenderung acuh tak acuh dengan syari’at yang sangat mulia dan tinggi nilainya dihadapan Allah Ta'ala ini. Jihad yang menjadi ujung tombak dari sebuah benteng pertahanan dakwah islamiyyah akhirnya tak bisa dilaksanakan untuk mengawal dakwah illallah yang disuarakan oleh para da’i, ustadz dan ulama.
Jihad yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai puncaknya amal ibadah dan para pelaku jihad (mujahid) yang dijanjikan dengan berbagai balasan pahala yang “menggiurkan” berupa jannah-pun dianggap remeh dan diremehkan oleh orang-orang kafir dan bahkan tak jarang hal itu juga datang dari umat islam sendiri.
Dengan fenomena tersebut, Ustadz Aris Munandar Al-Fatah, Lc. saat mengisi kajian Jum’at pagi (1/3/2013) dimasjid Al Fauziah Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, menerangkan bahwa istilah fardhu khifayah itu adalah jika suatu amalan sudah cukup dilakukan oleh sekelompok orang.
“Disebutkan dalam satu kalimat didalam Raudhotut Thalibin Lin-Nawawi, beliau menyebutkan bahwa paling sedikit dalam kondisi fardhu khifayah, jadi fardhu khifayah itu adalah sebuah kewajiban yang bilamana sudah dilakukan oleh sekelompok orang lain, maka jatuhlah untuk kita yang tidak melakukannya, itulah namanya fardhu khifayah,” ujarnya.
“Karena dianggap sudah cukup dilakukan oleh sekelompok orang tertentu yang menjadi tugas-tugas tertentu, dimana kondisi kaum muslimin memiliki negara sendiri, memiliki kekuasaan sendiri, syari’at islam bisa dijalankan ditengah-tengah kaum muslimin, kemudian tidak ada penyerangan dari musuh, maka pada kondisi itu, jihad adalah dalam keadaan fardhu khifayah,” imbuhnya.
Ketua Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) Jawa Tengah ini juga menjelaskan bahwa dalam kondisi jihad seandainya masuk dalam hukum fardhu khifayah, maka umat islam tetap harus melaksanakan syari’at jihad itu minimal sekali dalam setahun, dan tidak boleh kaum muslimin meninggalkan syari’at jihad tersebut.
“Dan (jihad -red) itu, paling sedikit dalam keadaan fardhu khifayah itu adalah dilakukan satu tahun itu adalah satu kali, dan lebih banyak, itu lebih baik. Dan tidak diperkenankan dalam satu tahun itu kita sama sekali tidak melakukan kegiatan jihad itu dalam satu tahunnya,” jelasnya.
“Kecuali kaum muslimin dalam keadaan dhorurot-dhorurot tertentu. Apa dhorurot tertentu itu? Pertama, seperti kita dalam keadaan lemah, jadi dalam sebuah ketetapan, jihad itu menjadi jatuh atas kewajibannya ketika kaum muslimin sedang dalam keadaan lemah. Kalau begitu apa yang harus dilakukan? Jawabannya Syaikhul Islam Ibnu Thaimiyyah adalah yang dilakukan oleh kaum muslimin pada saat itu adalah beri’dad sampai dia kemudian memiliki kemampuan, mempersiapkan diri untuk mempertahankan agama ini dari berbagai serangan musuh,” tambahnya.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan bagi kaum muslimin untuk sementara waktu tidak melakukan aktivitas jihad fie sabilillah adalah ketika amaliyah jihad itu malah berakibat buruk kepada dakwah islamiyyah yang sedang dijalankan, ataupun kurangnya perbekalan dan dirampasnya sumber daya alam kaum muslimin lainnya yang belum mengerti dan faham akan syari’at jihad itu sendiri.
“Sebab yang lain, yang kemudian diperkenankan untuk tidak dijalankan jihad itu dalam keadaan setahun sekali adalah karena banyaknya musuh, itu kemudian juga harus diitung-itung. Kalau kemudian dilakukan amaliyah jihad itu bisa jadi akan membawa dampak yang lebih buruk. Begitu juga, kita memiliki kekhawatiran diangkatnya kaum muslimin, diserobotnya hak-hak kaum muslimin, ketika kita justru memulai jihad itu terlebih dahulu. Ataupun karena alasan-alasan yang lain, atau kurangnya kita terhadap perbekalan, atau tidak memiliki kendaraan itu menjadi alasan untuk tidak dilakukan jihad itu dalam setahun sekali,” paparnya.
Ia melanjutkan, bagi mereka yang mengaku pengikut mazhab Imam Syafi’i mestinya mengamalkan apa yang diajarkan oleh ulama-ulama syafi’iyyah, slaah satunya sebagaimana yang tertulis dalam kitab Raudhatut Thalibin karangan Imam Nawawi.
“Lalu alasan yang cocok untuk kita yang mana? Kita tiap tahun berapa kali jihadnya? Ini pertanyaan. Padahal kata ulama ini menyebutkan bahwa jihad itu paling sedikit dilakukan setahun itu sekali. Kita umurnya ada yang sudah 40 tahun, 60 tahun, tapi mengeyam jihad aja belum pernah. Kalau tidak ada keadaan dhorurot seperti tadi, ataupun tidak ada alasan-alasan tertentu, maka tidak diperkenankan ditiadakan hanya dalam satu tahun. Jadi, paling tidak, harus ada kegiatan jihad paling tidak dalam satu tahun itu sekali, menurut kitab ini.
Inilah yang ditetapkan dan difahami oleh Syafi’i dan pengikut-pengikutnya. Jadi kalau sekarang ini kita mengklaim diri kita menjadi pengikut Imam Syafi’i di Indonesia ini, maka kita ini adalah paling layak untuk mengikuti madzhab atau cara pandang seperti yang difahami oleh beliau ini," jelasnya. [Bekti]