JAKARTA (voa-islam.com) – Dalam konferensi pers, Kamis (18/3) pagi di Jakarta, Komnas HAM mengecam pengerahan ratusan aparat dalam tim Gabungan Polri dan Densus 88 secara besar-besaran di Tanah Runtuh-Poso, dalam sebuah operasi yang dilengkapi peralatan berstandar tempur, dengan tujuan menangkap 29 DPO di sebuah wilayah pemukiman padat.
“Tindakan itu sangat berlebihan. Terlebih serangan ini membuat kepanikan warga, sehingga menyebabkan sejumlah korban luka, akibat serangan tiba-tiba dari pihak aparat, hingga tewasnya 13 korban jiwa yang justru bukan DPO yang dicari," ungkap Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Penanganan Tindak Pidana Terorisme Komnas HAM, Siane Indriani.
Komnas HAM juga mendapatkan fakta yang terjadi di Poso, sebagian korban sebenarnya masih bernyawa dan memungkinkan bisa diselamatkan, namun sayangnya tidak ada upaya melakukan tindakan pertolongan, bahkan terkesan sengaja dibiarkan hingga akhirnya tewas.
“Komnas HAM mengecam tindakan kejam yang tidak manusiawi ini, yang sengaja dilakukan justru oleh aparat kepolisian. Apalagi diperoleh fakta sebagian besar korban tewas dalam kondisi jenazah yang sangat mengenaskan,” ungkap Siane Indriani.
Atas peristiwa penembakan Densus 88 kepada terduga tindak pidana terorisme di Tanah Runtuh yang sampai mengakibatkan meninggal dunia tanpa proses hukum, dinilai Komnas HAM telah melakukan pelanggaran hak untuk hidup.
Komnas HAM menyebut, hak atas hidup dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain: Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 6 ayat (1) Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Abaikan TPF
Peristiwa 22 Januari 2007 merupakan tindakan berlebihan, karena pihak aparat kepolisian justru sama sekali tidak mengindahkan rekomendasi Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk oleh Menko Polhukam.
Dalam rekomendasinya, TPF justru meminta Polri melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat Islam, sekaligus menunjukkan rasa simpati dan keprihatinan atas insiden yang menimbulkan korban di kalangan masyarakat pada peristiwa bentrok aparat dengan warga 22 Oktober 2006 yang menyebabkan tewasnya seorang warga (Syafrudin) dan melukai beberapa warga.
Tim TPF juga merekomendasikan agar Polri meminta permohonan maaf kepada umat Islam di Poso yang saat itu sedang dalam suasana menghadapi Idul Fitri, khususnya kepada keluarga korban sekaligus sebagai upaya silaturahim untuk saling memaafkan.
Dalam rekomendasinya pada 20 November 2006, TPF menyatakan bahwa yang menjadi pemicu konflik antara warga dengan aparat, karena masih adanya dampak dari kerusuhan SARA masa lalu yang masih menyisakan dendam di kalangan umat Islam di Poso. [desastian]