JAKARTA (voa-islam.com) – Komnas HAM betul-betul kecewa dengan tindakan Densus 88 dalam menangani kasus terorisme. Agar Polri, khususnya Densus 88 tidak melakukan pelanggaran HAM serius, camkan rekomendasi Komnas HAM terhadap Kapolri, Pemerintah, dan DPR. Berikut inilah rekomendasi Komnas HAM yang dibacakan oleh Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Penanganan Tindak Pidana Terorisme Komnas HAM, Siane Indriani, didampingi Ketua Komnas HAM yang baru, Noor Laela.
Komnas HAM mendesak Kapolri mempertanggungkawabkan kasus ini dan segera mengusut tuntas pelanggaran HAM serius yang diduga dilakukan oleh para anggota Densus 88, maupun aparat lainnya yang terlibat dalam penyiksaan/penganiayaan terhadap korban yang sudah tidak berdaya, sebagaimana terekam jelas dalam video yang telah beredar. “Penyiksaan merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun (non-derogable right) dan merendahkan martabat manusia."
Komnas HAM secara serius akan membuka kembali kasus 22 Januari 2007 sebagai bagian dari proses pengumpulan data dan intervensi apabila ditemukan indikasi pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dimaksud dalam UU 26 tahun 2000.
Kapolri didesak untuk melakukan tindakan hukum dengan seadil-adilnya terhadap para pelaku (aparat polisi dan Densus 88), baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam penyiksaan yang menyebabkan tewasnya Fachrudin, salah satu korban dalam video itu, beberapa saat setelah dibawa ke Polres Poso.
Komnas HAM mendesak Kapolri mengusut tuntas terjadinya tindakan kekerasan yang berlebihan pada peristiwa 22 Januari 2007 sehingga menyebabkan 12 korban tewas yang bukan merupakan DPO dan melakukan otopsi ulang kepada seluruh korban. Komnas HAM juga meminta LPKS memberikan perlindungan keamanan terhadap para saksi dan korban pada peristiwa ini.
Lebih jauh Komnas HAM mendesak Pemerintah melakukan evaluasi dan pengawasan yang sangat ketat terhadap pola kerja pemberantasan terorisme, khususnya terhadap Densus 88. Karena selama ini, ada indikasi tidak ada supervisi maupun evaluasi terhadap kinerja Densus 88, sehingga ada kesan tidak terkontrol.
Tindakan menembak mati terhadap terduga teroris, sebaiknya dihindari. Untuk itulah Komnas HAM meminta Kapolri membuka data-data terkait para terduga teroris yang meninggal dunia saat sebelum proses hukum (tewas ditembak di TKP), termasuk hasil-hasil otopsi terhadap jenazah para terduga teroris.
Hal ini perlu dilakukan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Kapolro No. 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme Bab IV ayat 3: penindakan yang menyebabkan matinya seseorang/tersangka harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Komnas HAM meminta DPR melakukan pengawasan terhadap pengguna dana, baik yang dari APBN maupun dana bantuan luar negeri, yang digunakan dalam program penanggulangan terorisme, sehingga ada pertanggungjawaban secara transparan dalam penggunaan dana demi kepentingan kesejahteraan rakyat.
Khusus untuk Poso, penggunaan dana recovery dan dana deradikalisasi, harus dipastikan tersalurkan secara adil dan transparan, sebagaimana kebijakan yang pernah dijanjikan melalui pemulihan pasca konflik, yang tertuang dalam deklarasi Malino. Karena ternyata, hingga kini, masih banyak hak-hak rakyat yang belum direalisasikan (dalam hal ekonomi, kesehatan, pendidikan dan social).
“Komnas HAM mendesak Pemerintah meninjau kembali pola-pola penanganan terorisme melalui program-program yang lebih persuasive, dialogis, sesuai dengan perkembangan situasi dan psikologi masyarakat saat ini.”
Komnas mendesak Pemerintah melakukan redefinisi terhadap istilah “teroris” agar tidak dianggap sebagai stigmatisasi pada kelompok tertentu, yang bisa menimbulkan perasaan diskriminatif, sehingga berpotensi mengusik kerukunan antar umat beragama. [desastian]