KOMISI NASIONAL
HAK ASASI MANUSIA
Jl. Latuharhary No. 4B Menteng Jakarta Pusat 10310, Telp.6221-3925230 Fax. 6221-3925227
Website : www.komnasham.go.id
PERNYATAAN
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
TENTANG
HASIL PEMANTAUAN DAN PENYELIDIKAN PERISTIWA VIDEO KEKERASAN DALAM PENANGANAN TERORISME DI POSO, SULAWESI TENGAH
(Peristiwa 22 Januari 2007 di Tanah Runtuh)
Latar Belakang:
Pada akhir Februari 2013 Komnas HAM telah mendapatkan beberapa rekaman video kekerasan dan penganiayaan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian, khususnya Densus 88 yang diduga telah melakukan tindakan di luar prosedur dan berpotensi menimbulkan kemarahan serta keresahan masyarakat. Oleh sebab itu, Komnas HAM kemudian menyampaikan hasil temuan ini kepada pihak Polri untuk segera ditindaklanjuti.
Kekhawatiran adanya reaksi masyarakat atas tindakan yang berlebihan tersebut, ternyata juga ditanggapi serius oleh berbagai tokoh agama sebagaimana yang diberitakan berbagai media massa, baik cetak dan elektronik. Bahkan sebelum Komnas HAM melakukan verifikasi atas rekaman tersebut, para tokoh agama telah melakukan pertemuan dengan Mabes Polri untuk menyampaikan rekaman yang secara substansi sama. Diperoleh data ternyata video tersebut telah diupload ke youtube sejak awal Januari 2013.
Bahwa kemudian adanya bantahan dari pihak Kepolisian yang menyatakan bahwa video itu rekayasa dan tidak ada anggota Densus 88 yang diduga terlibat, serta belum nampaknya perubahan dalam pola penanganan terhadap terduga/tersangka tindak pidana terorisme, khususnya sejak peristiwa 22 Januari 2007 di Tanah Runtuh, Kabupaten Poso sebagaimana terekam dalam video tersebut, hingga saat ini.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang Komnas HAM memutuskan melakukan pemantauan dan penyelidikan pada 7 – 11 Maret 2013 guna memastikan bagaimana peristiwa tersebut terjadi dan mendesak adanya pertanggungjawaban oleh pihak Kepolisian RI. Pemantauan dan penyelidikan tersebut sebagai implementasi dari pembentukan Tim Pemantauan dan Penyelidikan terkait Tindak Pidana Terorisme oleh Komnas HAM .
Hasil Penyelidikan:
- Setelah melakukan pemantauan dan penyelidikan melalui wawancara dengan para saksi serta tinjauan langsung ke lapangan diperoleh data, fakta dan informasi bahwa, peristiwa yang terekam dalam video kekerasan yang diduga dilakukan oleh Densus 88 adalah benar-benar terjadi pada 22 Januari 2007 di Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Rejo, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso. Kesimpulan ini diperoleh setelah Komnas HAM mendapatkan fakta tersebut berdasarkan pengakuan dari para korban, serta para saksi mata. Selain itu Komnas HAM juga secara langsung melakukan rekonstruksi di titik lokasi TKP yang persis sama dengan yang terekam di video tersebut. Ini dilakukan agar diperoleh data-data akurat untuk melengkapi serangkaian penyelidikan yang sedang dilakukan secara intensif oleh Komnas HAM.
- Bahwa diperoleh fakta pelaku tindakan kekerasan dan penyiksaan yang ada dalam video itu terdapat beberapa anggota Densus 88 sebagaimana kesaksian para saksi mata serta terlihat jelas, sebagaimana terekam dalam video itu. (Lihat menit ke: 01.57; 02.01; 03.11; 03.43; 04.03; 04.49; 05.07; 07.00; 07.03; 07.34; 07.37; 07.38.; 08.33; 08.11).
- Pada peristiwa tersebut, terdapat sekurang-kurangnya sebanyak 3 (tiga) orang ditembak di lokasi kejadian yaitu Sdr. Icang (meninggal dunia ditempat), Sdr. Rasiman (pada bagian kaki kanan meskipun sudah menyerah, bertelanjang dan mengangkat tangan) dan Sdr. Wiwin (pada bagian dada tembus punggung, meskipun sudah menyerah, mengangkat tangan dan sudah telanjang dada hanya menggunakan celana dalam). Meskipun sudah terluka Wiwin, masih diinterograsi bahkan dilecehkan dengan kata-kata yang bernuansa SARA. Selain itu Tugiran dan Rasiman yang juga mengalami penganiayaan. Para korban ini bahkan masih mengalami siksaan-siksaan sejak di lokasi, dalam perjalanan hingga ketika diinterograsi di Polres Poso.
- Setelah penetapan 29 DPO yang menyebabkan tekanan aparat kepolisian dan Densus 88 yang semakin intensif, terjadilah serangan besar-besaran oleh ratusan aparat kepolisian dan Densus 88, yang membuat mereka berusaha bertahan. Merasa terdesak akhirnya sekitar 6 (enam) orang yaitu Sdr. Tugiran, Sdr. Rasiman, Sdr. Wiwin, Sdr. Fachrudin, Sdr. Ridwan, dan Sdr. Icang berlari menuju Jl. Pembantu Gubernur dan kemudian masuk di rumah Ustadz Tarmizji dan ternyata disekitarnya telah dikepung Anggota Densus 88..
- Terhadap Sdr. Fachrudin, saat ditangkap dalam kondisi yang sehat dan tidak mengalami penembakan, namun sehari setelah ditahan di Polda Sulawesi Tengah, Fachrudin tewas dengan kondisi tubuh yang memprihatinkan. Selain menewaskan 1 DPO (Icang), tewasnya 11 orang lainnya yang bukan DPO di tempat kejadian (Firman, Nurgam alias Om Gam, Idrus, Totok, Yusuf, Muh. Syafri alias Andrias, Afrianto alias Mumin, Hiban, Huma, Sudarsono, dan Ridwan Wahab alias Gunawan), serta seorang anggota Polri (Bripka Ronny), patut disesalkan. Terhadap peristiwa penembakan Densus 88 kepada terduga/tersangka tindak pidana terorisme orang di Tanah Runtuh yang sampai mengakibatkan meninggal dunia tanpa proses hukum diduga adanya pelanggaran hak untuk hidup sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable right). Hak atas hidup dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain :
- Komnas HAM mendapatkan fakta bahwa sebagian korban sebenarnya masih bernyawa dan memungkinkan bisa diselamatkan, namun sayangnya tidak ada upaya melakukan tindakan pertolongan, bahkan terkesan sengaja dibiarkan hingga akhirnya tewas. Komnas HAM mengecam tindakan kejam yang tidak manusiawi ini, yang sengaja dilakukan justru oleh aparat Kepolisian. Apalagi diperoleh fakta sebagain besar korban tewas dalam kondisi jenazah yang sangat mengenaskan.
- Pasal 28 I ayat (1), Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran hari dan nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui dan sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
- Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun.”
- Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”
- Pasal 6 ayat (1) Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005 menjamin bahwa “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”
- Pengerahan ratusan aparat dalam tim Gabungan Polri secara besar-besaran, termasuk melibatkan Densus 88, dalam sebuah operasi yang dilengkapi peralatan berstandar tempur, dengan tujuan menangkap 29 DPO di sebuah wilayah pemukiman padat, tindakan yang sangat berlebihan. Apalagi kemudian serangan ini membuat kepanikan warga, menyebabkan sejumlah korban luka, akibat serangan tiba-tiba dari pihak aparat, hingga tewasnya 13 korban jiwa yang justru bukan DPO yang dicari.
- Peristiwa 22 Januari 2007 merupakan tindakan berlebihan karena justru sama sekali tidak mengindahkan rekomendasi Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk oleh Menko Polhukam. Dalam rekomendasinya TPF justru meminta Polri melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat Islam, sekaligus menunjukkan rasa simpati dan keprihatinan atas insiden yang menimbulkan korban di kalangan masyarakat pada peristiwa bentrok aparat dengan warga 22 Oktober 2006 yang menyebabkan tewasnya seorang warga (Syaifudin) dan melukai beberapa warga . Tim TPF juga merekomendasikan agar Polri meminta permohonan maaf kepada umat Islam di Poso yang saat itu sedang dalam suasana menghadapi Idul Fitri, khususnya kepada keluarga korban sekaligus sebagai upaya silaturahmi untuk saling memaafkan.
- Dalam rekomendasinya 20 Nopember TPF menyatakan bahwa yang menjadi pemicu konflik antara warga dengan aparat karena masih adanya dampak dari kasus kerusuhan SARA masa lalu yang masih menyisakan dendam di kalangan umat Islam di Poso.
Rekomendasi
- Komnas HAM mendesak Kapolri mempertanggungjawabkan kasus ini dan segera mengusut tuntas pelanggaran HAM serius yang diduga dilakukan oleh para anggota Densus 88, maupun aparat lainnya yang terlibat dalam penyiksaan/penganiayaan terhadap para korban yang sudah tidak berdaya, sebagaimana yang terekam jelas dalam video yang telah beredar, karena penyiksaan merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable right) dan merendahkan martabat manusia. Komnas HAM secara serius akan membuka kembali kasus 22 Januari 2007 sebagai bagian dari proses pengumpulan data dan investigasi apabila ditemukan indikasi pelanggaran HAM yang Berat sebagaimana dimaksud dalam UU 26 tahun 2000.
- Mendesak Kapolri melakukan tindakan Hukum seadil-adilnya terhadap para pelaku, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa penyiksaan yang menyebabkan tewasnya Fachrudin, salah satu korban dalam video itu, beberapa saat setelah dibawa ke Polres Poso.
- Mendesak Kapolri mengusut tuntas terjadinya tindakan kekerasan yang berlebihan pada peristiwa 22 Januari 2007 sehingga menyebabkan 12 korban tewas yang bukan merupakan DPO dan melakukan otopsi ulang kepada seluruh korban.
- Mendesak LPSK memberikan perlindungan keamanan terhadap para saksi dan korban pada peristiwa ini.
- Mendesak Pemerintah melakukan evaluasi dan pengawasan yang sangat ketat terhadap pola kerja pemberantasan terorisme, khususnya terhadap Densus 88. Karena selama ini ada indikasi tidak ada supervisi maupun evaluasi terhadap kinerja Densus 88, sehingga ada kesan tidak terkontrol. Tindakan menembak mati terhadap terduga teroris, sebaiknya dihindari kecuali dalam kondisi benar-benar terpaksa dan harus bisa dibuktikan secara transparan dan dipertanggungjawabkan secara hukum. Untuk itulah Komnas HAM meminta Kapolri membuka data-data terkait para terduga teroris yang meninggal dunia saat sebelum proses hukum (tewas di tembak kejadian), termasuk hasil-hasil otopsi terhadap jenazah para terduga teroris. Hal ini perlu dilakukan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Kapolri 23 tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme Bab IV ayat 3: penindakan yang menyebabkan matinya Seseorang/Tersangka harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
- Meminta DPR melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana, baik yang dari APBN maupun dana bantuan luar negeri, yang digunakan dalam program penanggulangan terorisme, sehingga ada pertanggungjawaban secara transparan dalam penggunaan dana demi kepentingan kesejahteraan rakyat. Khusus untuk Poso penggunaan dana recovery dan dana deradikalisasi, harus dipastikan tersalurkan secara adil dan transparan, sebagaimana kebijakan yang pernah dijanjikan melalui pemulihan pasca konflik, yang tertuang dalam deklarasi Malino. Karena ternyata hingga kini masih banyak hak-hak rakyat (ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial) yang belum direalisasikan.
- Mendesak Pemerintah meninjau kembali pola-pola penanganan terorisme melalui program-program yang lebih persuasif, dialogis sesuai dengan perkembangan situasi dan psikologi masyarakat saat ini.
- Mendesak Pemerintah melakukan redifinisi terhadap istilah “teroris” agar tidak dianggap sebagai stigmatisasi pada kelompok tertentu, yang bisa menimbulkan perasaan diskriminatif sehingga berpotensi mengusik kerukunan antar umat beragama.
Demikian pernyataan ini dibuat sebagai salah satu wujud pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang Komnas HAM demi terciptanya kondisi yang kondusif bagi pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Jakarta, 18 Maret 2013
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
TIM PEMANTAUAN DAN PENYELIDIKAN PENANGANAN
TINDAK PIDANA TERORISME
KETUA,
SIANE INDRIANI