JAKARTA (voa-islam.com) – Komnas HAM mengingatkan Polri agar berhati-hati dalam melemparkan tuduhan, bahwa korban yang ditembak Densus 88 adalah pelaku mutilasi terhadap kaum Nasrani dalam konflik SARA yang terjadi sebelumnya.
“Mohon agar hati-hati dengan tuduhan itu. Mohon pihak aparat agar lebih bijakasana. Mereka adalah bagian dari korban konflik masa lalu, dan turut merasakan ketidak-adilan. Mereka traumatic dengan konflik antar agama yang mengakibatkan jatuh korban yang tak sedikit. Diantara mereka, ada yang anggota keluarganya, bahkan orang tuanya yang mati terbunuh dalam Konflik SARA tersebut, ”tegas Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Penanganan Tindak Pidana Terorisme Komnas HAM, Siane Indriani didampingi Noor Laela, Ketua Komnas HAM yang baru.
Polri hendaknya tidak melakukan stigmatisasi terhadap kelompok tertentu. Seperti diketahui, ketika konflik SARA, masing-masing pihak yang berseteru (muslim dan Kristen) mempersenjatai diri. Sangat disesalkan, jila melempar stigama terhadap kelompok tertentu saja.
Senada dengan Noor Laela, polisi jangan melakukan stigmatisasi terhadap kelompok yang diindikasi terduga “terosis”. Sangat disesalkan, jika proses peradilan belum berajalan, masih indikasi, sudah ada tindkan dan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat polisi dan Densus 88. Namun sejauh ini, Komnas HAM belum bisa menyatakan, apakah pelanggaran HAM yang dilakukan Densus 88 itu tergolong pelanggaran berat atau biasa.
“Saat ini masih terus dikaji. Jika sudah terkumpul pola dan data di lapangan terkait kerja densus 88, bisa saja Densus 88 dinyatakan telah melakukan pelanggaran HAM berat. Saat ini, Komnas HAM baru bisa mengatakan, Densus 88 telah melakukan pelanggaran hak hidup orang dan rasa aman,” kata Noor Laila. Komnas HAM berjanji akan meningkatkan penyelidikan lebih jauh dan melakukan analisa berdasarkan fakta dan bukti yang didapat.
Ketika ditanya wartawan, bagaimana pendapat Komnas HAM atas statemen Kabareskrim yang mengatakan telah menindak secara etik dan disiplin terhadap aparat densus yang terlibat penyiksaan? Apakah perlu ada sanksi pidana?
Komnas HAM menjawab, sangat tidak fair, aparat yang telah menghilangkan nyawa 13 orang hanya diberikan sanksi etik. “Itu tidak fair. Dalam kondisi tidak berdaya, tidak membawa senjata, tidak melakukan perlawanan, diikat, dan sudah menyerah, lalu ditembak di tempat. Jelas, ini sudah tindak pidana, dan masyarakat akan menuntut ketidak adilan ini,” jelas Siane.
Sang wartawan bertanya lagi, apakah yang sudah dilakukan polisi dalam menindak terduga teroris itu sudah sesuai dengan protap? “Protap yang harus dilakukan adalah melakukan pendekatan kemanusiaan. Tidak perlu ditembak, tapi diproses secara hukum,” kata Komnas HAM.
Salah seorang wartawan situs online ternama terkesan membela Densus 88. Katanya, polisi justru sudah melakukan protap, karena dalam peristiwa itu terjadi baku tembak, polisi khawatir pelaku yang diduga teroris itu terdapat bom, bahkan Wiwin memegang senjata jenis M16. Jadi bukankah polisi sudah sesuai protap? tanya wartawan media sekuler itu.
Kegaduhan Kecil Sesama Wartawan
Saat jumpa pers tersebut, sempat terjadi kegaduhan kecil dengan sesama wartawan. Salah seorang anggota JITU (Jurnalis Islam Bersatu) yang meliput di kantor Komnas HAM itu merasa risih dengan pertanyaan wartawan yang terkesan membela Densus 88. “Eh loe Densus ya?“ Tanya jurnalis media Islam itu kepada wartawan yang berada disebelahnya.
Dicolek anggota JITU, wartawan yang datang terlambat dan terkesan membela Densus itu merasa sewot dan tidak terima. Semua mata wartawan yang meliput sempat mengarah pada kegaduhan kecil itu. Termasuk pihak Komnas HAM. Tapi itu tidak berlangsung lama.
“Kok saya dibilang Densus. Saya kan hanya konfirmasi, “ kata wartawan berambut cepak yang saat itu datang terlambat.
Lebih lanjut Komnas HAM meminta wartawan yang banyak bertanya itu melihat video kekerasan Densus 88 itu. “Sangat disayangkan, wartawan hanya mendapat sumber sepihak dari kepolisian saja. Dilihat saja videonya. Ada operasi Sobiri yang melibatkan densus, semua wartawan di lapangan tahu.”
Komnas HAM hanya ingin mengatakan, dalam kondisi korban tidak berdaya,maka tidak ada alasan pembenaran bagi polisi untuk melakukan tindakan semena-mena. Komnas HAM dalam menjalankan fungsinya bertugas melakukan pengawasan terhadap negara.
Dijelaskannya, kekhawatiran Komnas HAM terkait akan munculnya video kekerasan oknum Densus 88 sudah diingatkan kepada pihak kepolisian sejak satu bulan yang lalu. Namun laporan tersebut tidak ditindaklanjuti dan justru yang terjadi kemudian terus menyebar di kalangan masyarakat.
Rekaman video dikhawatirkan menjadi pemicu gerakan-gerakan bawah tanah yang bertujuan menambah keruh suasana.“Kami sudah mengontak LPSK untuk melindungi saksi-saksi yang ada di video itu. Kami minta kepolisian juga melakukan tindakan hukum ke penyebar, karena dikhawatirkan dapat memicu kemarahan di daerah Poso,” ucap Siane.
Komnas HAM meminta kepada semua pihak, termasuk pemuka agama berikut anggota gerakan bawah tanah untuk menahan diri.[desastian]