SOLO (voa-islam.com) – Ketua Umum INSISTS Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, MA. Phil mengatakan,pemerintah menganggap kelompok Syi’ah yang ada di Indonesia tidak ada masalah, tapi di lapisan masyarakat bawah justru timbul masalah. Pemerintah dalam hal ini tidak tanggap dan segera merespon konflik yang terjadi di Sampang Madura. Harusnya pemerintah menindak lanjuti masukan dari para ulama Sunni dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
“Tidak tanggapnya pemerintah, karena para penguasa juga sudah terjangkiti virus Sepilis (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme). Pemerintah menggunakan dalil HAM, sehingga tidak segera menindak kelompok Liberal Syi’ah,” jelas Hamid.
Liberalisme inilah yang menjadi problem. Ketika liberalisme menjadi relative, maka tidak bisa menentukan benar dan salah. Standarnya adalah kebenaran yang relative, semua benar, atau salah semua. Ini basic atas dasar berfikirnya orang-orang liberal.
Bagi Gus Hamid, silahkan orang mau berkeyakinan apa saja, tapi jika sudah mengobok-obok faham dan keyakinan agama dan keyakinan orang lain yang sudah umum dan baku, maka hal tersebut menjadi masalah dan harus segera dibenarkan kesalahannya. Sedangkan bagi kelompok liberal, tidak boleh mengklaim kebenarannya sendiri. “Jadi bagi orang yang berfikir liberal, tidak boleh menyalahkan orang lain. Bagi orang liberal, klaim kebenaran itu tidak ada,” pungkasnya.
Ketua Majelis Ulama dan Intelektual Muda Indonesia (MIUMI) ini membeberkan, sekarang ini ada fenomena “perkawinan” alias penyatuan Sunni - Syi’ah. Mereka, kata Gus Hamid, bersembunyi dalam kelompok atau lembaga yang bersifat “anti liberal” agar kedok kalangan syi’ah tidak terbongkar.“Kalau orang sudah berfikir liberal, logikanya ngawur, jangankan orang Syi’ah, orang kristen aja bisa masuk surga. Ini kan ngawur,” tambahnya.
Tujuan mereka, lanjut Hamid, adalah agar mereka bisa diterima di kalangan masyarakat Sunni. Mereka tidak melakukan ritual-ritual ajaran syi’ah. Bahkan mereka melakukan ibadah hampir sama persis dengan kalangan sunni, mulai dari adzan, puasa, shalat dan hajinya. Bahkan mereka juga belajar dan mengajarkan kitab-kitab hadits layaknya kalangan Sunni, semisal hadits Bukhari, hadits Muslim yang didalamnya ada riwayat dari ‘Aisyah dan Abu Hurairah ra.
Namun, mereka tidak bisa bersikap tegas terhadap status hukum kelompok Syi’ah tersebut. Mereka cenderung berdalih untuk ‘bermain aman’ dengan tidak menyesatkan dan mengkafirkan Syi’ah, lantaran ada beberapa rowi atau rijalul-hadits dalam hadts shahih Bukhari yang menurut “orang-orang semacam itu” juga berfaham Syi’ah.
“Okelah, kita tidak usah mengkafirkan Syi’ah. Kita elegan saja. Kita balik tanya sama mereka, apa hukumnya orang yang tidak mengakui keaslian Al Qur’an? Apa hukumnya orang-orang seperti kelompok Syi’ah ini yang mencaci, bahkan mengkafirkan sahabat? Hujjah mereka itu dengan menyandarkan pada rijalul hadits didalam shahih Bukhori itu lemah sekali,” jelasnya.
Menurut Hamid, orang-orang Syi’ah itu memanfaatkan isu liberal ini sebagai upaya dia masuk dalam kalangan Sunni. Karena, jika bicara pluralism, maka pluralisme itu diartikan sebagai faham yang mengandung relativisme. Di dalam pluralitas agama-agama dan keyakinan yang ada ini, sebenarnya ada satu ide yang menunjukkan bahwa semuanya benar, secara relative.
Terakhir, Gus Hamid menegaskan, tidak benar menyatakan Syi’ah termasuk bagian dalam komunitas muslim. Yang menyatakan itu, disebabkan karena kebodohannya dan ketidaktahuannya tentang akar permasalahan Syi’ah. Namun jika dia dianggap oleh sebagian orang, faham dan faqih tentang urusan agama, bisa jadi dia termasuk orang yang anti liberal tapi berfaham Syi’ah. [Bekti]