JAKARTA (voa-islam.com) – Dari hasil survei tentang pelajar yang melakukan perzinahan (free sex) atau yang dikenal dengan sebutan kumpul kebo, ternyata 62% dari responden pelajar SMP pernah melakukan hubungan sex, dan 27% sudah pernah melakukan tindakan aborsi. Sangat mengerikan membayangkan masa depan negeri ini.
Hal inilah yang mungkin mendasari perlunya dibuat Undang-undang kumpul kebo atau Undang-undang Perzinahan. Dalam KUHP yang berlaku saat ini sudah ada undang-undang tentang perzinahan, tetapi hanya berlaku bagi pasangan yang sudah bersuami atau beristri dan belum menjangkau pasangan yang masih lajang atau pasangan dibawah umur yang melakukan sex bebas.
Pemerintah mengusulkan RUU KUHP ke DPR pada 6 Maret lalu Undang-undang ini bertujuan untuk mengurangi sex bebas yang sekarang ini marak dan seolah sudah menjadi hal yang lumrah. "Ini mesti diatur agar seks bebas tidak merajalela di masyarakat supaya tidak merusak generasi sekarang dan yang akan datang," kata sosiolog Dr Musni Umar.
Saat masyarakat ingin memberangus kumpul kebo, mereka kebingungan karena tidak ada aturan hukumnya. "Kalau di KUHP yang berlaku saat ini, hubungan suka sama suka tidak diatur. Yang diaturnya hanya zina saja," tutur Musni.
Sekilas RUU Kumpul Kebo
Pasangan kumpul kebo di Indonesia, dipastikan akan dipidana paling lama satu tahun atau denda Rp30 juta. Ketentuan tersebut, tertuang dalam Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Selama ini, KUHP yang berlaku tidak mempidana pasangan kumpul kebo. KUHP itu dibuat pada 1830 oleh pemerintah Hindia Belanda dan dibawa ke Indonesia pada 1872. Pemerintah kolonial memberlakukan secara nasional di Indonesia pada 1918 hingga saat ini.
Jika RUU KUHP ini disahkan, maka tidak perlu pembuktian adanya hubungan seksual antara pasangan kumpul kebo tersebut. Asalkan hidup dalam satu rumah atau satu kamar layaknya suami istri, maka dapat dipidana.
Pasal 485 Rancangan KUHP menyebutkan Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana paling banyak Rp 30 juta . Hukuman ini bersifat alternatif, yaitu hakim dapat memilih apakah dipidana atau didenda.
Anehnya, Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Thamrin Tamagola malah tidak setuju diberlakukannya RUU Kumpul Kebo. Ia menilai Rancangan KUHP itu sebagai hal yang gegabah. “Sebaiknya negara menyerahkan masalah kumpul kebo kepada masing-masing masyarakat,” ujar Thamrin ngawur.
Di Barat, kumpul kebo atau samen leven tidak memidana pasangan kumpul kebo. Di sejumlah daerah di Indonesia, pasangan kumpul kebo diarak keliling kampung atau dikawinkan paksa. Itulah sebabnya lahir RUU KUHP untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan.
Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Dr Mudzakir yang merupakan salah satu anggota tim perumus mengatakan, Jika KUHP ini diketok DPR, maka tidak perlu pembuktian adanya hubungan seksual antara pasangan kumpul kebo tersebut. Asalkan sehidup dalam satu rumah atau satu kamar layaknya suami istri maka dapat dipidana. "Bagi anak-anak kos bagaimana? Ya jangan hidup sekamar layaknya suami istri. Menikah saja daripada dipidana," tegas Mudzakir.
Yang menjadi pertanyaan, siapa yang berhak melaporkan pasangan kumpul kebo sehingga pasangan kumpul kebo bisa dipidanakan? Ini yang masih menjadi kelemahan, karena yang bisa melaporkan pasangan kumpul kebo hanyalah orang-orang yang mempunyai kepentingan langsung atau orang yang merasa dirugikan, seperti suami, istri, ibu kos, orang tua, dll.
Jadi kalau ada razia dari satpol PP atau razia dari polisi atau hansip kemudian menemukan pasangan sedang melakukan kumpul kebo, mereka tidak bisa melaporkan kejadian ini. Akan lebih baik kalau semua orang yang mengetahui atau melihat pasangan sedang melakukan kumpul kebo bisa melaporkan ke polisi. [Desastian/dbs]